Kendalikan Nafsu, Itu Jalan ke Surga

Oleh: Dr. Amir Faishol Fath

Setiap kali kita berbiacara tentang puasa selalu kita teringat tentang pengendalian nafsu. Sebab puasa adalah ibadah mengendalikan nafsu. Dalam Al Qur’an masalah pengendalian nafsu adalah masalah penting. Dan bahkan Allah swt. menegaskan bahwa mengendalikan nafsu adalah jalan ke surga. Dalam surah An Nazi’at:40-41 Allah berfirman: Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). Ayat ini menunjukkan beberapa makna:

Pertama, bahwa setiap manusia dihadapkan kepada dua kekuatan yang saling tarik-menarik: kekuatan takut kepada Allah dan kekuatan hawa nafsu. Bila takutnya kepada Allah lebih kuat, maka ia akan mengendalikan nafsunya. Begitu nafsu dikendalikan, syetan tidak berdaya menggodanya. Ketika syetan tidak berdaya, maka amalnya akan selalu baik. Karena itu dalam bulan Ramadhan kita menyaksikan masjid-masjid penuh, siang maupun malam. Dan suasana seperti itu sulit kita temukan di luar Ramadhan. Sebab begitu nafsu makan dibuka, syetan kembali berkuasa. Karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa dari dibukanya nafsu makan terbuka otomatis pintu-pintu syetan untuk menguasai manusia. Jelasnya bahwa dengan kuatnya rasa takut kepada Allah yang pertama kali akan dikendalikan nafsu. Lalu dari sini pintu-pintu kebaikan akan terbuka lebar. Bila amal baik terus-menerus dilakukan secara istiqamah, maka ia akan masuk surga.

Kedua, menguatkan rasa takut kepada Allah (khaafa maqaama rabbihi) adalah modal utama untuk senantiasa istiqamah bermal saleh. Karena itu dalam Al Qur’an Allah swt. Selalu menekankan pentingnya membangun al kahuf atau al khasyyah ini. Pada ayat sebelumnya di surat An Nazi’at juga, Allah swt. memerintahkan Nabi Musa agar mengajak Fir’un supaya takut kepada Allah. Sebab dengan takut kepada Allah Fir’un tidak akan bertindak sombong lagi. Jadi sikap sombongnya Fira’un mucul karena tidak adanya khasyyah. Dan khasyyah tidak akan muncul tanpa ilmu, Allah berfirman innama yakhsyallahu min ibaadihil ulamaa’u (sesungguhnya hanya orang yang punya ilmu yang takut kepada Allah) (QS. Fathir:28). Karena itu Nabi Musa diutus untuk mengajarkan kepada Fir’aun hakikat kekuasaan Allah swt. Sampai-sampai Nabi Musa menunjukkan mukjizatnya yang agung (al aayatal kubraa) hanya untuk meyakinkan Fir’aun, tetapi ternyata Fir’aun tetap bertahan dalam kekafiran. Bahkan Fir’aun malah mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan dengan berkata: ana rabbukumul a’laa (aku tuhanmu yang paling tinggi). Suatu kenyataan bahwa tanpa rasa takut yang kuat nafsu akan berkuasa. Puncak gejolak nafsu adalah kesombongan. Allah lalu menjelaskan bahwa dalam peruistiwa Fir’aun terdapat pelajaran bagi orang yang takut kepada Allah. Lagi-lagi masalah takut khasyyah dipertagas oleh Allah swt. Menunjukkan betapa pentingnya membangun rasa takut untuk mecapai ketaatan yang maksimal.

Ketiga, mengendalikan nafsu adalah kata kunci untuk mencapai surga. Karena itu dalam ayat di atas Allah swt. langsung menegaskan: fainnal jannata hiyal ma’wa. Bahwa hanya dengan mengendalikan nafsu seseorang akan menjadi baik dan penuh amal saleh. Berbagai kemaksiatan yang menghancurkan hidup manusia, itu pasti ujung-ujungnya adalah karena ikut nafsu. Dengan demikian tidak ada kebaikan sama sekali bila ternyata nafsu dibebaskan tanpa kendali. Ibadah puasa membuktikan bahwa mengendalikan nafsu bukan suatu yang mustahil. Lebih-lebih bahwa pengendalian nafsu ketika puasa adalah pengendalian dari halal. Maka dengan ibadah puasa kelak tidak ada alasan untuk berbuat yang haram. Artinya bisa dikatakan kepada mereka: engkau telah menahan nafsu dari yang halal, maka tidak ada alasan bagimu untuk melaukan yang haram. Ini suatu bukti, bahwa nafsu sebenarnya sangat lemah. Nafsu tidak akan mampu memaksa seseorang melakukan dosa. Bisa ada seseorang yang terjerumus dosa itu bukan karena dahsyatnya nafsu, melainkan kerena lemahnya iman. Dengan demikian jalan satu-satunya untuk mengendalikan nafsu adalah kuatkan iman, Karena itu Allah panggil yaa ayyuhalladziina aamanuu (wahai orang yang beriman) dalam perintah puasa pada ayat 183 surah Al Baqarah. Suatu indikasi bahwa hanya orang-orang yang kuat imannya yang akan bersungguh-sungguh mengendakikan nafsunya. Wallahu’alm bishshawab

Jalan Taubat Sang Rocker

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

“Cinta yang tulus di dalam hatiku,
Telah bersemi karena-Mu
Hati yang suram
kini tiada lagi
Tlah bersinar karena-Mu
Semua yang ada pada-Mu
Membuat diriku
tiada berdaya
Hanyalah bagi-Mu
Hanyalah untuk-Mu
Seluruh hidup
dan cintaku…”

Masih terngiang lirik lagu Cinta Yang Tulus yang dinyanyikan Bangun Sugito alias Gito Rollies, yang popular di tahun 80an. Lagu yang pernah dipopularkan The Rollies itu memang liriknya terkesan religius. Namun kesan itu menjadi paradoks ketika tahu sisi gelap dari kehidupan si pelantun tembang tersebut. Penampilan Gito kala itu urakan dengan rambut awut-awutan dan celana jin belel menghiasi kejayaan The Rollies Band di era 1980-an. Bahkan lagu-lagu cadas meluncur dari suara seraknya. Segudang kendugalannya kerap dikupas dan menjadi langganan infotainment.

Sudah menjadi rahasia umum bila dunia selebritis di mana pun berada selalu dekat dan akrab dengan dunia gemerlap (dugem) yang kerap diselingi berbagai macam kesenangan sesaat seperti narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya. Tak terkecuali pria kelahiran Biak, 1 November 1947 ini.

“Tiap Jumat siang kami berangkat ke daerah Puncak Bogor untuk pesta miras dan narkoba,” Ungkap Gito dengan nada sesal.

Sebelum merasakan ke-Mahaan Allah dalam dirinya, Bangun Sugito hidup dalam serba kecukupan. Bergelimang kemewahan, bergiat dalam kehidupan malam, bertemankan jarum neraka. Begitulah hari demi hari yang dilalui seolah pakaian yang tak pernah lepas dari badannya.

Bahagiakah hidup seperti itu? Mendatangkan ketenangankah semua itu? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab, sebuah rasa yang belum pernah ada dan sebuah keinginan yang belum tercapai. Pada akhirnya semuanya hanya menghantarkannya ke alam risau, resah dan gelisah.

Klimaks terjadi kala ia merayakan ulangtahunnya yang ke-50 pada 1997. Di situ, Gito mengundang seluruh karibnya untuk berpesta alkohol dan obat sepuasnya.

Dalam kerisauan panjang, beriring desah dan keluh kesah, daerah Puncak Bogor –Puncak dikenal sebagai tempat rekreasi di daerah Jawa Barat– selalu menjadi tempat menumpahkan penat, mengubur kegundahan yang membuncah. Wal hasil bukan ketenangan yang didapat bahkan gelisah itu makin menjadi. Namun dari daerah inilah benih hidayah itu mulai mekar membesar. Puncak menjadi tempat bersejarah, tempat solusi menjawab segala kerisauan.

Saat itu hari Jumat siang. Pria dengan rambut awut-awutan ini masih memegang botol miras, duduk di tempat yang tinggi sambil sesekali memandang ke arah bawah. Pandangannya tertuju kepada beberapa warga desa yang ramai menuju mesjid, hatinyapun bergetar, kerisauanpun kembali mengusik hati.

“Mereka dengan kesahajaan bisa menemukan kebahagiaan. Apakah di Masjid ada kebahagiaan?!” Pertanyaan itu selalu mengusik Gito.

Sungguh pemandangan indah di hari Jumat itu, memberi arti tersendiri bagi kehidupan Gito Rollies. Sulit dibedakan keterusikan karena sekedar ingin tahu atau ini adalah awal Allah membukakan hatinya bagi pintu tobat.

Dicobanya untuk mendekati Masjid itu, subhanallah, seperti ada magnit yang memendekkan langkahnya untuk tiba. Mungkin di sana ada kebahagiaan. Terlihatlah sebuah pemandangan yang meluluhlantakan kegelisahannya selama ini.

“Rasanya seluruh otakku tiba-tiba dipenuhi oleh kekaguman. Dan entah kenapa, aku seperti mendapatkan ketenangan melihat orang-orang ruku, sujud dalam kekhusuan,”

“Bukankah apa yang kulakukan selama ini untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenapa tidak? Ya, aku telah bergelut dengan kesalahan dan tetek bengeknya yang semuanya adalah dosa. Benarkah Allah tidak akan mengampuni dosaku? Lantas buat apa aku hidup jika jelas-jelas bergelimang dalam ketidakbahagiaan.” Pikiran itu terus bergelayut seakan haus jawaban.

“Malam itu aku benar-benar tidak dapat memejamkan mata. Aku gelisah sekali. Ya, ternyata aku yang selama ini urakan, permisive ternyata masih takut dengan dosa dan neraka. Berhari-hari aku mengalami kegelisahan yang luar biasa. Hingga suatu malam, di saat kegelisahanku mencapai “puncaknya”, aku memutuskan untuk memulai hidup baru.

“Selama hidupku, baru kali ini aku diliputi suatu perasaan yang belum pernah aku rasakan semenjak mulai memasuki dunia selebritis. Maka, aku pun segera berwudlu dan melakukan shalat. Ketika itu, untuk pertama kalinya pula aku merasakan kebahagiaan dan kedamaian. Dan sejak hari itu, aku memutuskan untuk tekun memperdalam agama sekalipun masih banyak sekali tawaran-tawaran menggiurkan yang disodorkan kepadaku atau pun beragam ejekan dari sebagian orang. Aku pun melaksanakan haji seraya berdiri dan menangis di hadapan ka’bah memohon kepada Allah kiranya mengampuni dosa-dosa yang telah aku lakukan pada hari-hari hitamku.”

Ketika mentari terbit, Gito langsung mengajak istrinya untuk pergi ke Bandung, menjenguk sang ibunda. Di sana, ia mengutarakan niatnya untuk tobat yang disambut tangis haru sang ibu. Sejak saat itu, Gito resmi meninggalkan dunia kelam.
Satu yang disyukuri Gito adalah, dukungan dan kesabaran sang istri, Michelle, yang tak pantang habis.

“Saat aku sudah belajar agama, aku tidak berupaya menyuruhnya shalat. Ia tiba-tiba belajar shalat sendiri, begitu juga anak-anak. Suatu hari, ketika aku pulang, tiba-tiba aku mendapatinya tengah mematut diri di depan kaca sambil mengenakan jilbab. Padahal aku tidak pernah menyuruhnya. Subhanallah, istriku memang yang terbaik yang pernah diberikan Allah,” kata ayah dari empat putra ini.

Tobatnya Gito juga disyukuri oleh sang mertua, warga negara Belanda yang berimigrasi ke Kanada. Meski berbeda keyakinan, ibu mertuanya justru senang dengan perubahan yang dialami Gito.

“Kata beliau, aku jadi lebih kalem ketimbang dulu, meski sekarang pakai jenggot segala. Bahkan aku jadi menantu favoritnya lho,” tuturnya sambil terkekeh.

“Mengapa Allah memberikan hidayah kepada diriku yang kerdil ini? Mengapa Allah menciptakan makhluk yang penuh dosa ini?”

Gito mengaku harus merenung lama untuk menemukan jawaban itu. Setelah dia menjalankan shalat dan menunaikan haji, jawaban itu baru mampir di benak dan pikirannya. “Ternyata, Allah menciptakanku untuk menjadi manusia baik. Semula mengikuti idolaku, Mick Jagger. Aku menjadi penyanyi dan rekaman lalu mendapat honor. Tapi itu bukan kebahagiaan sepenuhnya buatku.”

“Mick Jagger itu dulu menjadi idolaku. Ikut mabok, main cewek, dan seabrek dunia kelam lain. Tapi sekarang aku mengidolakan Nabi. Dan sekarang, aku menemukan nikmat yang tiada tara.”

Kalimat itu meluncur dengan lugas dari Gito Rollies, artis ndugal yang kini memilih ke pintu pertobatan. Penampilan Gito tak lagi urakan dengan rambut awut-awutan dan celana jin belel. Bukan pula pelantun lagu-lagu cadas yang berjingkrak-jingkrak tidak keruan.

“Aku sudah mendapatkan banyak hal di dunia ini. Sekarang saatnya mengumpulkan amal untuk persiapan menghadapi hari akhir ,” katanya ketika memberi testimoni tentang perubahan dalam hidupnya.

Artis kelahiran Biak, Papua, 1 November 1947 dengan nama bangun Sugito ini awalnya dikenal sebagai rocker. Dalam perjalanan karirnya, ia juga dikenal sebagai aktor dan terakhir dalam kondisi sakit ia menjadi penceramah agama.

Nama Gito terlihat diambil dari nama aslinya, sementara nama Rollies diambil dari nama grup band asal Bandung, The Rollies yang pernah terkenal pada dekade 1960-an hingga 1980-an. Grup ini terdiri dari vokalis Gito, Uce F Tekol, Jimmy Manoppo, Benny Likumahuwa, Teungku Zulian Iskandar.

Setelah bersolo karir, dia menelorkan sejumlah album solo, yakni Tuan Musik (1986), Permata Hitam/Sesuap Nasi (1987), Aku tetap Aku (1987), Air Api (1987) dan Tragedi Buah Apel (1987) dan Goyah (1987).

Sebagai aktor Gito memulai debutnya di dunia film lewat Buah Bibir (1973) sebagai figuran. Setelah benar-benar menjadi aktor ia bermain dalam Perempuan Tanpa Dosa (1978), Di Ujung Malam (1979) dan Sepasang Merpati (1979), dan Permainan Bulan Desember (1980), dan Kereta Api Terkahir (…). Namun kekuatan aktingnya terlihat pada Janji Joni yang mengantarkannya meraih piala Citra untuk kategori Aktor Pembatu Pria Terbaik pada Festival Film Indonesia tahun 2005.

Kang Gito, begitu sapaan akrabnya, memang bukan lagi Gito Rollies yang lama. Sejak 10 tahun belakangan, hidupnya berubah 180 derajat. Kini, ia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, mantan personel band The Rollies ini tak segan-segan menyerukan semua orang untuk meninggalkan kehidupan yang dipenuhi alkohol dan obat-obatan terlarang.

“Dalam hidup ini -apa pun agamanya- adalah paling baik mengikuti ajaran agama. Karena inilah yang akan membentengi kita -terutama anak-anak- dalam menjalani cobaan hidup,” lanjut ayah tiga anak dari perkawinan dengan Michelle: Puja, Bayu dan Bintang.

Toh, meski sudah berada di jalan Allah, Gito tak pernah merasa dirinya yang paling benar. Ia selalu menolak jika disebut kyai, atau diminta untuk berceramah. Menurutnya, ia hanyalah orang yang masih terus belajar agama. Apapun yang diucapkannya di depan umum adalah upayanya berbagi cerita.

Bahkan, Gito masih merasa belum cukup bertobat hingga akhir hayatnya. Tak pernah sekalipun ia merasa dosa-dosanya telah terhapuskan. Dalam suatu pengajian ia sempat bertanya kepada ustadz yang berceramah, apakah dosa-dosanya di masa lalu bisa berkurang dengan perbuatannya saat ini.

“Tak hanya berkurang, namun dosa Kang Gito bahkan sudah dianggap lunas. Kang Gito jangan berpikir perbuatan baik saat ini untuk bayar dosa yang lalu. Sekarang Kang Gito tengah menabung untuk masa depan,” jawab sang ustadz, yang disambut Gito dengan wajah sumringah.

Sejak 1990-an nama Gito hilang dari peredaran setelah dia menarik diri dari dunia panggung musik rock maupun film. Khalayak pun tidak lagi menyaksikan aksi-aksi penyanyi bersuara serak dengan gaya panggungnya yang atraktif. Beberapa tahun kemudian Gito muncul menjadi seorang dai, yang kerap tampil dengan pakaian putih-putih.

Sejak 2005 Gito harus terbaring lemah. Ia tak berdaya melawan kanker kelenjar getah bening yang dideritanya. Namun kemudian ia justru terlihat banyak melakukan kegiatan dakwah. Bahkan sebelum meninggal Gito masih sempat berdakwah di Padang, Sumatera Barat selama 11 hari.

Tahun-tahun belakangan memang terasa berat buat Michelle Sugito wanita asal Kanada yang telah mendampingi hidupnya selama ini. Ia harus mendampingi suaminya menjalani terapi pengobatan kanker kelanjar getah bening yang dirasakan penyanyi rock ini, dua tahun terakhir.

Sosok Bangun Sugito yang atletis dan enerjik di panggung sudah menjadi bagian masa lalu. Untuk berjalan pun kini ia harus dibantu atau minimal menggunakan tongkat. Kadang ia memang menolak untuk dibantu. “Maunya sih tidak dibantu. Tetapi karena aku selalu bicara bahwa manusia harus saling membantu, ya aku juga harus mau dibantu orang lain,” kata Gito.

Karena itulah ia juga tidak menolak ketika diminta ikut dalam acara penggalangan dana buat korban gempa bumi Yogyakarta yang digagas orang tua murid tempat isterinya bertugas. Gito menganggap saat ini sudah saatnya ia bernyanyi untuk berdakwah, sesuatu yang ia harapkan ada manfaatnya buat para pendengarnya.

Sebab itu pulalah ia lebih memilih menyanyikan lagu-lagu bernuansa religius ketimbang lagu-lagu nunasa masa lalu seperti,“Astuti…Tuti..Tuti…”

Bersamaan dengan sumbangan yang mengalir dari undangan, air mata Michelle Sugito makin deras mengalir.

Ya, Gito Rollies memang pribadi yang penuh kenangan. Kehidupannya tersimpul dalam satu kalimat ‘Mantan lalim, yang jadi orang alim’. Masa mudanya memang sangat dekat dengan miras, narkoba dan hura-hura. Selama kurang lebih 23 tahun tidak menyurutkan niat rocker gaek bernama lengkap Bangun Sugito ini untuk tobat dan mendalami agama.

Dialah satu-satunya Rocker yang meninggal dengan tenang, indah dan tersenyum. Happy Ending. Seandainya Sid Vicious meninggal dengan tenang di St Paul’s Cathedral, Kurt Cobain dan Jimmy Hendrix meninggal mesra di St James Cathedral maka sepertinya tidak akan ada stigma: Rocker mati konyol dengan mulut berbusa atau berlumuran darah karena bertingkah bodoh akibat pengaruh narkoba. Dan mitos “Rocker Legend mati muda” pun sudah mulai usang karena Legend kita yang satu ini tutup usia di umur 61 tahun.

Gito menigggalkan seorang isteri bernama Michelle dan lima anak, yakni Galih Permadi, Bintang Ramadhan, Bayu Wirokarma, dan Puja Antar Bangsa.

Sebaik-baik usia tiap orang adalah pada penghujungnya. Dan ketahuilah, bagi kita, ujung-ujung usia akan selamanya menjadi misteri, karena seringkali di sanalah Allah memberikan kesudahan yang indah dari perjalanan taubat hamba-Nya.

Ila Robbika Muntahaha. Innama Anta Mundziru Man Yaghsya [dakwatuna.com]

Dari Laundry Mendulang Hidayah

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. al-Baqarah:266)

Ayat ini menerangkan, bahwa akhirat bagi seorang mukmin adalah segala-galanya. Sebagaimana dalam kehidupan dunia, masa tua adalah masa penentu kebahagiaan seseorang. Setidaknya seperti itulah –walau tidak sama persis–perjalanan menemukan Islam yang dialami seorang wanita lansia yang sehari-hari berprofesi sebagai petugas laundry pada sebuah asrama mahasiswa di Inggris.

Tidak ada sisi menarik pada wanita ini, tua renta, pegawai rendahan dan hidup sendirian. Setiap kali bertemu dia selalu membawa kantong plastik berukuran besar yang terisi penuh dengan pakaian kotor. Untuk pekerjaan kasar seperti ini penghuni rumah jompo ini terbilang cekatan di usianya yang sudah terbilang uzur. Di Inggris, masyarakat yang memiliki anggota keluarga lansia biasanya cenderung memasukkan mereka ke panti jompo. Dan tentu saja keadaan miris ini harus diterima kebanyakan para orangtua dengan besar hati agar tidak membebani anak mereka. Namun di tengah kondisi seperti itu sepertinya tidak membuat kecil hati tokoh kita ini yang justeru begitu getol mengisi hari-harinya bergelut dengan cucian kotor.

Wanita baya itu lebih suka dipanggil auntie atau bibi. Dia sudah bekerja sebagai petugas laundry hampir separuh usianya. Beruntung baginya masih ada instansi yang bersedia mempekerjakan para manula.

“Aku merasa dihargai meski sudah tua. Lagipula, orang-orang seperti aku ini sudah tidak ada yang mengurus, kalau bukan diri sendiri. Anak-anakku sudah menikah dan tinggal bersama keluarga mereka masing-masing. Suamiku sudah meninggal. Walaupun anak-anak suka menjenguk, tapi aku tetap ingin punya kegiatan sendiri untuk mengisi masa tua,” ujarnya

“Bukan untuk kerja yang berat memang, tapi setidaknya, selain menambah penghasilan juga mengisi hari tua. Mungkin itu lebih baik daripada harus tinggal diam di panti jompo.” Ujarnya lagi dengan wajah sendu.

“Sedih juga kalau harus tinggal sendirian. Seperti seorang temanku. Dia juga dulu bekerja sebagai petugas laundry bersamaku. Sampai akhirnya, anak perempuan satu-satunya menikah. Namun setelah menikah, anak perempuannya itu tidak pernah menghubunginya,” bibi berkisah.

Bagi sang Bibi profesinya sebagai petugas laundry justeru membuatnya lebih dekat dengan sepak terjang, liku-liku penghuni asrama yang rata-rata adalah mahasiswa dari luar Inggris. Sang Bibi paham betul kebiasaan para mahasiswa yang tinggal di asrama ini selain belajar sehari-hari, adalah pergi clubbing sekedar “having fun”. Banyak asrama memiliki bar, café, ruang duduk untuk menonton televisi, ruang musik dan fasilitas olahraga sendiri.

Dan salah satu sisi negatif pergaulan dengan orang Inggris adalah bila mereka sudah dekat botol miras, biasalah mereka sampai benar-benar mabuk. Dan dapat dibayangkan kekacauan yang terjadi. Muntah merata di sebarang tempat, kencing dalam celana dan sebagainya. Inilah perbuatan paling bodoh yang pernah dilakukan oleh manusia sejak terciptanya minuman beralkohol. Bukan saja menghilangkan akal sehat, tetapi juga si pemabuk akan merasa kelelahan dan sakit kepala yang teramat sangat (hangover).

Saat para penghuni asrama masih dibuai mimpi karena kelelahan habis clubbing semalaman suntuk. Tinggalah sang Bibi memunguti pakaian kotor itu setiap hari. Dan terkadang harus diangkut dari kamar, jauh sebelum mereka bangun dari tidur. Kemudian disortir dengan teliti satu persatu berdasarkan jenis bahan, ukuran, warna dan yang lebih spesifik lagi dipisahkankannya pakaian dalam dari yang lain. Begitu pekerjaan rutin itu dilakukan dengan penuh dedikasi tinggi walau diujung usianya yang semakin menua.

Waktu terus berjalan, sementara sang Bibi tanpa putus asa terus bergelut dengan ‘dunia kotor’nya. Idealnya di penghujung usianya itu seharusnya masa bagi seseorang menuai hasil kerja payahnya di masa muda. Namun situasilah yang menyebabkan dia harus menanggung berbagai persoalan hidup, maka sungguh itu merupakan masa tua yang tidak membahagiakan. Di dalam kondisi yang sudah tidak mampu banyak berbuat, dia justru dituntut harus banyak berbuat. Dalam kondisi produktivitas menurun ia justru dituntut untuk berproduksi tinggi.

Entah sampai kapan dia harus melakoni pekerjaan itu. Maka sampailah suatu saat asramanya kedatangan penghuni baru yaitu beberapa mahasiswa muslim dari Timur Tengah yang mendapat tugas belajar dari negaranya. Mereka sudah terdaftar akan menempati salah satu kamar di asrama tempat sang Bibi bekerja.

Bagi kebanyakan pelajar timur tengah sangat langka memilih tinggal di asrama. Mereka biasanya membeli rumah atau flat yang sudah disesuaikan untuk menampung kelompok kecil siswa, pasangan atau keluarga. Ada juga beberapa pemilik tempat perorangan mengijinkan rumah-rumah mereka dikelola dan disewakan.

Tinggal di asrama merupakan cara terbaik untuk bertemu orang-orang baru dan menjalin persahabatan yang langgeng. Inilah salah satu pertimbangan mereka memilih tinggal di asrama. Kesadaran inilah yang menepis kekhawatiran akan terjadinya gegar budaya atau “cultural shock“.

Hidup dalam komunitas non muslimlah justeru kita dituntut untuk membuktikan nilai-nilai Islam yang tinggi ini sebagai sebuah solusi bagi manusia. Tentunya ini adalah pekerjaan dakwah yang merupakan tanggungjawab setiap muslim dimana saja berada. Dengan tetap menjaga keistimewaan kita sebagai muslim yaitu kesalehan.

Hari-hari terus berlalu, tampaknya si Bibi ini betul-betul perhatian dengan apa yang dicucinya. Sampai-sampai dia tahu ini pakaian si A, ini si B dan seterusya. Tidak terkecuali dengan pakaian kotor milik mahasiswa dari Timur Tengah tadi. Namun saat dilakukan sortir pakaian dalam, si Bibi merasa ada sesuatu yang tidak biasa, karena dari semua pakaian yang dicucinya, hanya pakaian muslim arab saja yang terlihat tidak kotor, tidak berbau, tidak kumuh dan tidak banyak noda dipakaiannya.

Kejadian langka ini semakin mendorong rasa penasaran si Bibi. Lagi-lagi pencuci pakaian di asrama ini selalu merasa aneh saat mencuci celana dalam mereka. Berbeda dengan yang lain, kedua pakaian dalam mereka selalu tak berbau.

Maka masih dalam keadaan penasaran, si Bibi memutuskan bertanya langsung dengan ‘pemilik celana dalam’ itu. Saat ditanya kenapa. Dua orang ini menjawab, ”Kami selalu istinja setiap kali kencing.” Pencuci baju ini bertanya lagi, ”Apakah itu diajarkan dalam agamamu?”

“Ya!” Jawab dua orang pelajar muslim tadi.

Merasa belum yakin 100% dengan jawaban itu, akhirnya si Bibi datang menemui salah seorang tokoh muslim yaitu Doktor Sholeh– Pengajar di sebuah perguruan Tinggi Islam di Saudi, saat ditugaskan ke Inggris– Wanita tua ini menceritakan keheranannya selama bertugas perihal adanya pakaian dalam yang ‘aneh’.

Ada beberapa pakaian dalam yang tidak berbau seperti kebanyakan mahasiswa umumnya, apa sebabnya? Maka ustadz ini menceritakan karena pemiliknya adalah muslim, agama kami mengajarkan bersuci setiap selesai buang air kecil maupun buang air besar, tidak seperti mereka yang tidak perhatian dalam masalah seperti ini.

Betapa terkesan ibu tua ini jika untuk hal yang kecil saja Islam memperhatikan apatah lagi untuk hal yang besar, pikir pencuci baju itu. Dan tidak lama kemudian ia mengikrarkan syahadat, masuk Islam dengan perantaraan pakaian dalam!

Tidak disangka ternyata diam-diam si tukang cuci masuk Islam, gemparlah para mahasiswa yang tinggal di asrama tersebut, yang kebanyakan adalah non muslim. Mereka berusaha ingin tahu sebab musabab si Bibi masuk islam. Dia menjawab dengan yakin bahwa dirinya sangat kagum dengan kawan muslim Arab ini, karena dari semua pakaian yang dicucinya, hanya pakaiannya sajalah yang terlihat tidak macam-macam. Dan dengan hidayah Allah Swt, dirinya dapat membedakan antara pakaian seorang muslim dan non muslim.

Hidayah memang bisa datang kapan saja dan pada siapa saja. Selama ini mungkin kita lebih sering mendengar masuk Islamnya seorang non muslim ke dalam Islam lebih disebabkan pada hal-hal luar biasa dan penting. Tapi yang ini benar-benar tidak biasa. Mendapat hidayah di penghujung usia gara-gara pakaian dalam! Sungguh takdir Allah benar-benar telah jatuh berketepatan dengan kegigihannya selama ini mengisi hari-hari di sisa hidupnya sebagai petugas laundry. Disinilah letak rahasia nikmat Allah yang agung yang mempertemukan antara takdirNya dan ikhtiar manusia. Sungguh Allah tidak pernah menyia-nyiakan amal seorang hambaNya.

Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari jalur al-Aufi dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhu beliau berkata, “Allah subhanahu wata´ala telah membuat perumpamaan yang sangat bagus, dan seluruh perumpamaan dari Allah adalah bagus. Allah subhanahu wata´ala berfirman, “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah, Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. al-Baqarah:266)

Ayat ini menjelaskan tentang perumpamaan seseorang yang tadinya kaya dan banyak melakukan amal kebaikan, lalu Allah subhanahu wata´ala mengujinya dengan melalui godaan syetan sehingga ia berbalik melakukan kemaksiatan, dan akhirnya amal-amal kebaikan tersebut lenyap tenggelam.

Jadi jelasnya ayat ini merupakan permisalan tentang amal seseorang yang tadinya senatiasa melakukan kebaikan-kebaikan, lalu di tengah perjalanan hidupnya berubah haluan menjadi melakukan keburukan-keburukan. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wata´ala dari hal itu. Akhirnya amalnya yang terkahir mengalahkan amalnya yang terdahulu yang baik-baik. Kemudian ketika ia sangat butuh terhadap amalnya yang pertama, tatkala dalam kondisi sulit dan sempit (di akhirat) ternyata dia tidak memperolah pahala amal itu sedikit pun karena telah sirna.

Jika manusia demikian khawatirnya terhadap bayangan kebangkrutan masa tua di dunia, maka seharusnya mereka lebih khawatir lagi dengan “masa tua akhirat”. Dan itulah yang terjadi pada kaum salaf, para shahabat, tabi’in, para imam dan orang-orang shalih yang menempuh jalan mereka.

Jika mereka ditaqdirkan oleh Allah subhanahu wata´ala dengan rizki yang banyak (kaya), maka mereka sangat khawatir jika harta itu kelak akan mengurangi “jatah” mereka di akhirat. Sehingga mereka buru-buru menginfaqkan harta tersebut fi sabilillah dan jalan-jalan kebaikan. Kesadaran mereka terhadap kebutuhan akhirat sedemikian besar, sehingga seluruh kemampuan mereka di dunia digunakan untuk bekal menyongsong kehidupan akhirat.

Mereka telah menjual diri dan dunia mereka kepada Allah subhanahu wata´ala demi “masa tua” di akhirat, masa ketika mereka sudah tidak mampu lagi untuk beramal dan berbuat, masa ketika mereka menikmati usaha dan jerih payah di dunia. Mereka sangat khawatir jika di masa-masa seperti ini, justru terjerumus dalam kebangkrutan dan kerugian yang besar. Bagaimana dengan kita? [dakwatuna.com]

Panduan Shalat Taraweh dan Witir

Shalat Taraweh
Taraweh (التراويح) dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari tarwiihah (ترويحة), yang artinya beristirahat dan santai sejenak. Kalimat ini pada mulanya bermakna “duduk” secara umum. Kemudian dikenal sebagai “duduk yang dilakukan setelah melakukan shalat empat rakaat di malam bulan Ramadhan”. Karena pada saat itu, mereka yang shalat beristirahat sebentar dari shalatnya, mengingat panjangnya shalat yang mereka lakukan1). Akhirnya istilah tersebut dilekatkan kepada nama shalat itu sendiri secara kiasan2).

Shalat Taraweh Pada Zaman Rasulullah dan Khulafa’urrasyidin

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu-anha, bahwa saat masuk bulan Ramadhan, Rasulullah shalat di masjid (Nabawi), lalu diikuti oleh beberapa orang, kemudian beliau shalat lagi pada hari keduanya, yang mengikutinya semakin banyak. Kemudian pada malam ketiga atau keempat para shahabat sudah berkumpul (untuk shalat bersama Rasulullah), namun beliau tak kunjung muncul.

Di pagi harinya Rasulullah bersabda kepada mereka:

» رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ اْلخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ «


“Saya melihat apa yang kalian lakukan (tadi malam). Tidak ada yang mencegah saya keluar (untuk shalat) bersama kalian, hanya saja saya khawatir (shalat taraweh tersebut) diwajibkan kepada kalian” (Muttafaq alaih)

Kesimpulannya, pada awalnya shalat taraweh zaman Rasulullah dilaksanakan secara berjamaah, kemudian setelah itu tidak dilakukan secara berjamaah, karena Rasulullah khawatir jika shalat tersebut dilaksanakan secara berjamaah terus menerus, akan turun ayat yang mewajibkan hal tersebut kepada kaum muslimin, sehingga mereka tidak mampu melakukannya.

Begitulah seterusnya hal tersebut berlanjut; shalat taraweh dilakukan sendiri atau berkelompok-kelompok hingga wafatnya Rasulullah dan seterusnya di masa khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Baru kemudian pada zaman khalifah Umar bin Khottob pelaksanaannya dikembalikan seperti semula yaitu dengan berjamaah.

Abdurrahman bin ‘Abd al-Qory meriwayatkan:

“Saya keluar bersama Umar bin Khottob di (malam) bulan Ramadhan menuju mesjid. Di sana orang-orang terbagi-bagi dalam melakukan shalat; ada yang sholat seorang diri, ada yang shalat mengimami beberapa orang. Menyaksikan hal tersebut Umar berkata:

“Saya berpendapat, akan lebih baik jika mereka dikumpulkan dengan satu imam,”

Maka beliau segera mewujudkan keinginannya dengan memerintahkan Ubai bin Ka’ab untuk menjadi imam bagi orang yang shalat Taraweh…

Kemudian di malam berikutnya saya keluar (menuju mesjid) dan menyaksikan orang-orang yang shalat (taraweh) dipimpin oleh seorang imam. Maka saat itu Umar:

» نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ «

“Inilah sebaik-baik bid’ah” (Riwayat Bukhori)

Maka sejak zaman itu hingga kini, pelaksanaan shalat taraweh dilakukan secara berjamaah di masjid-masjid dan telah menjadi sunnah yang diterima dan dilaksanakan kaum muslimin di seluruh dunia.

Catatan:
Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud “bid’ah” dalam perkataan Umar di sini adalah pengertian bid’ah secara bahasa, artinya “sesuatu yang baru”, karena shalat taraweh berjamaah secara terus menerus baru dilakukan pada zaman Umar bin Khottob, di mana sebelumnya hanya dilakukan oleh Rasulullah beberapa kali saja.

Adapun bid’ah dalam pengertian istilah yang maksudnya “Mengada-adakan ibadah yang tidak diajarkan dalam Islam”, tidaklah termasuk apa yang dilakukan oleh Umar bin Khottob ini. Karena sebenarnya perkara tersebut telah dilakukan oleh Rasulullah sehingga tetap memiliki landasan syar’i, dan kekhawatiran diwajibkannya shalat Taraweh atas umat Islam yang menyebabkan Rasulullah menghentikan shalat Taraweh secara berjamaah sudah tidak ada lagi, karena terputusnya wahyu setelah meninggalnya Rasulullah.

Hukum dan Keutamaannya

Shalat taraweh sangat dianjurkan (sunnah mu’akkadah). Pelaksanannya pada malam selama bulan Ramadhan, sesudah shalat ‘Isya.

Shalat Taraweh juga digolongkan sebagai shalat malam (qiyamullail), karena itu keutamaan shalat taraweh dapat dinilai dari keutamaan shalat malam yang banyak disebutkan dalam ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah.

Di antaranya firman Allah Ta’ala:

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam . Dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)” (QS. adz-Dzariat : 17-18)

Rasulullah bersabda:

» أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ «

“Shalat yang paling utama setelah shalat fardu adalah shalat malam” (Riwayat Muslim)


Maka, jika shalat malam secara umum memiliki keutamaan yang besar, apalagi jika shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan; bulan yang paling utama dari bulan-bulan yang ada.

Hal tersebut semakin dikuatkan dengan kenyataan bahwa bulan Ramadhan bukan hanya dikenal sebagai syahrushshiyam (bulan puasa), tetapi juga dikenal sebagai syahrulqiyam (bulan ibadah shalat).

Maka hadits Rasulullah yang menerangkan tentang keutamaan puasa di bulan Ramadhan sepadan dengan keutamaan shalat malam di bulan tersebut.

Rasulullah bersabda:

» مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ «

“Siapa yang puasa (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”
(Muttafaq alaih)

» مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ «


“Siapa yang beribadah (shalat) (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu” (Muttafaq alaih)

Berapa jumlah rakaat shalat Taraweh?

Sering terjadi pertentangan tentang jumlah rakaat shalat taraweh. Tidak jarang hal tersebut berakibat pada perpecahan di tengah masyarakat muslim. Sesuatu yang sangat ironis sekali, mengingat shalat taraweh hukumnya sunnah, sedangkan ukhuwwah dan persatuan di kalangan kaum muslimin tidak diragukan lagi kewajibannya. Namun sayang, demi membela yang sunnah (tanpa diringi pemahaman yang benar), yang wajib justru diabaikan.

Hal tersebut terjadi karena permasalahan ini sering dilihat dari sudut pandang golongan. Dikatakan bahwa yang shalat dua puluh rakaat adalah cara orang NU, sedang yang sebelas rakaat adalah cara orang Muhamadiyah, tanpa meneliti dalil yang ada serta petunjuk pemahaman yang benar dan menyeluruh serta perkataan para ulama tentang hal tersebut.

Padahal para salafusshaleh melihat perkara ini sebagai perkara yang muwassa’ (luas dan luwes). Bukan pada tempatnya menjadikan hal ini sebagai ajang untuk membid’ahkan atau menyatakan sese-orang bukan golongannya.

Karena shalat taraweh juga digolong-kan sebagai shalat malam (qiyamullail), maka hukum yang terkait dengannya juga mengikuti hukum yang berlaku pada shalat malam, termasuk masalah jumlah bilangan rakaatnya.

Jumlah asal dari pelaksanaan shalat malam adalah dua rakaat-dua rakaat secara mutlak, tanpa ada pembatasan jumlah maksimal dari rakaat yang boleh dikerjakan.

Sebagaimana hadits Rasulullah:

» صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى «


“Shalat malam, dua (rakaat) dua (rakaat), jika salah seorang di antara kamu khawatir (datang) waktu shubuh, maka hendaklah dia shalat (witir) satu rakaat, mengganjilkan shalat yang telah dilakukan” (Muttafaq alaih)

Hadits ini Rasulullah sampaikan ketika menjawab pertanyaan seorang badui tentang pelaksanaan shalat malam.

Maka dari jawaban Rasulullah tersebut ada dua hal yang dapat disimpulkan:

  1. Shalat malam hendaklah dilakukan dua rakaat-dua rakaat. Maksudnya adalah setiap dua rakaat melakukan salam.
  2. Shalat malam tidak ada batasan maksimalnya. Karena kalaulah hal tersebut ditentukan, mestinya Rasulullah sampaikan masalahnya, mengingat perta-nyaan orang Badui bersifat umum tentang shalat malam, baik tata caranya maupun jumlah rakaatnya3).

Adapun hadits Aisyah radhiallahuanha yang sering dijadikan landasan sebagai batas maksimal dari pelaksanaan shalat malam terdapat dalam riwayat Bukhori dan Muslim di mana Aisyah radiallahuanha berkata:

» مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ J يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعاً فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ، ثُمَّ يصُلِّي أَرْبَعاً فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً ُ«


“Rasulullah tidak menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, jangan tanya bagusnya dan panjang-nya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, jangan tanya tentang bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat” (Muttafaq alaih)

Dalam hadits ini, dengan gamblang Aisyah radhiallahuanha menjelaskan tentang jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah, baik di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan, yaitu: sebelas rakaat.

Namun yang patut diperhatikan adalah: Bahwa hadits Aisyah radhiallahuanha di atas, tidak berarti menunjukkan bahwa shalat malam (shalat taraweh) maksimal sebelas rakaat, sehingga jika lebih dari itu dianggap menyalahi sunnah Rasul. Karena dalam riwayat tersebut, Aisyah sekedar menyampaikan bahwa demikian-lah shalat malam yang Rasulullah lakukan, sehingga para ulama berkesim-pulan bahwa apa yang disampaikan Aisyah radhiallahuanha adalah merupakan kebiasaan Rasulullah dalam bilangan rakaat shalat malam4) dan tidak ada petunjuk bahwa beliau melarang pelaksa-naan shalat malam lebih dari itu.

Yang menguatkan pendapat tersebut adalah adanya riwayat lain yang shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan shalat malam tiga belas rakaat, atau sepuluh rakaat. Bahkan di antara yang meriwayatkannya termasuk Aisyah radhiallahuanha sendiri.

Dari Aisyah radhiallahuanha, dia berkata:

“Adalah Rasulullah shalat pada malam hari sepuluh rakaat, beliau melakukan salam pada setiap kali dua rakaat, kemudian melakukan shalat witir satu rakaat” (Riwayat Abu Daud dan Ahmad)

Dari Ibnu Abbas radhiallahuanhu, beliau berkata:

“Adalah shalat Rasulullah (berjumlah) tiga belas rakaat; maksudnya adalah (shalat di waktu) malam” (Riwayat Bukhori)

Kesimpulannya, yang utama shalat Taraweh dilakukan sebelas rakaat, berdasarkan hadits Aisyah radhiallahuanha, namun jika ada yang shalat dua puluh rakaat ditambah tiga witir, maka hal tersebut tidaklah mengapa5).

Bagi ma’mum, yang perlu diketahui adalah hendaklah dia melakukan shalat taraweh bersama imam hingga selesai (apakah imam melakukannya sebelas atau dua puluh rakaat), berdasarkan hadits:

» إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ «


“Seseorang, jika dia shalat bersama imam hingga selesai, maka dicatat baginya (pahala) qiyamullail” (Riwayat Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah)

Disamping hal tersebut lebih dekat kepada kesatuan hati dan persatuan di kalangan masyarakat muslim.

Beberapa Hukum Terkait Dengan Pelaksanaan Shalat Taraweh

1. Hendaknya shalat Taraweh dilaku-kan dengan tenang dan khusyu’. Memperhatikan thuma’ninah, syarat dan rukunnya serta tidak tergesa-gesa.

Semakin lama shalatnya, maka semakin baik nilainya. Karena sesungguhnya nilai shalat ini terletak pada lamanya dia dilakukan. Karena itu pada zaman Rasulullah mereka beristirahat di pertengahannya untuk menghilangkan letih. Namun penting juga dalam hal ini memperhatikan kondisi orang yang tua renta atau mereka yang lemah.

2. Betapapun besarnya kedudukan shalat Taraweh, tetap saja shalat Fardhu lebih utama kedudukannya. Karena itu, sebesar apapun perhatian seseorang untuk shalat Taraweh, tidak boleh mengalahkan perhatian dia dalam melaksanakan shalat Fardhu.

3. Tidak ada surat-surat khusus yang dibaca setelah membaca surat al-Fatihah. Bahkan para ulama menganjurkan agar imam membaca seluruh al-Quran sejak awal hingga akhir Ramadhan, agar ma’mum mendengarkan semua isi al-Quran. Namun tidak mengapa jika dia membaca semampunya.

4. Terkait point di atas, dibolehkan bagi imam jika dia tidak hafal al-Quran, untuk memegang mushaf saat shalat. Namun bagi ma’mum selayaknya hal tersebut tidak dilakukan6).

5. Tidak ada dalil yang menunjukkan zikir atau sholawat khusus yang dilakukan di sela-sela shalat Taraweh atau sesudah-nya yang dibaca bersama-sama.

Cukuplah masing-masing jamaah ber-zikir seorang diri, atau membaca al-Quran atau membaca shalawat, atau berdoa tanpa batasan-batasan tertentu. Atau, jika tidak membaca sesuatupun, tidak mengapa.

6. Jika seseorang datang ke mesjid, sedangkan pelaksanaan shalat Taraweh telah dimulai dan dia belum melaksanakan shalat ‘Isya. Maka dia harus melakukan shalat ‘Isya terlebih dahulu sebelum shalat Taraweh.

Adapun pelaksanaannya, dia dapat bergabung dengan jama’ah shalat Taraweh dengan niat shalat Isya, kemudian jika imam melakukan salam, dia melanjutkan sisa raka’atnya7).

7. Jika seseorang terhalang melakukan shalat Taraweh secara berjamaah, maka hal tersebut tidak menghalanginya untuk shalat taraweh seorang diri di tempatnya.

Shalat Witir

Witir (الوتر) berarti ganjil. Maka shalat ini dinamakan Witir karena jumlah rakaatnya bersifat ganjil.

Shalat Witir bukan shalat yang khusus dilaksanakan pada bulan Ramadhan saja, tetapi dia adalah shalat sunnah yang sangat dianjurkan (Sunnah Mu’akkadah) untuk dilakukan seorang muslim setiap malam.

» الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوْتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوْتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ «


“Witir merupakan tuntutan terhadap setiap muslim, siapa yang ingin melakukan witir sebanyak tiga rakaat, maka lakukanlah, dan siapa yang ingin melaksanakan witir satu rakaat, maka lakukanlah”
(Riwayat Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Waktu Pelaksanaannya

Waktunya dilakukan setelah shalat ‘Isya hingga masuk waktu Subuh.

Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah menambahkan untuk kalian sebuah shalat, yaitu Witir, hendaklah kalian melakukannya di antara sehabis shalat Isya hingga shalat Fajar” (Riwayat Ahmad)

Shalat Witir hendaknya dijadikan sebagai penutup shalat kita di malam hari, berdasarkan sabda Rasulullah:

» إِجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْراً «

“Akhirilah shalat kalian di waktu malam dengan Witir” (Muttafaq alaih)

Namun jika seseorang tidak yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia melakukan Witir sebelum tidur, adapun jika dia yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia shalat Witir di akhir malam dan menutup shalat malamnya dengan Witir.

Namun jika dia sudah melakukan Witir sebelum tidur, kemudian dia dapat bangun lagi sebelum Subuh, dia tetap boleh melakukan shalat malam, sedangkan Witirnya cukup dengan yang sudah dilakukan sebelum tidur, tidak boleh baginya melakukan shalat Witir lagi, karena Rasululah bersabda:

» لاَ وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ «

“Tidak ada dua Witir dalam satu malam”
(Riwayat Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Jumlah Rakaatnya

Jumlah rakaatnya minimal satu rakaat, selebihnya dapat dilakukan tiga rakaat hingga tiga belas rakaat, yang penting bilangannya ganjil.

Jika melakukan shalat witir tiga rakaat, maka caranya ada dua;
-Pertama: Melakukannya tiga rakaat langsung lalu duduk tahiyat pada rakaat terakhir.
-Kedua: Melakukannya dua rakaat terlebih dahulu, lalu tahiyat pada rakaat kedua kemudian salam, kemudian melakukan shalat satu rakaat lagi, kemudian tahiyat lalu salam.

Adapun melakukan shalat witir tiga raka’at seperti shalat maghrib (dengan tahiyat awal dan akhir) tidak ada contohnya dari Nabi, bahkan ada larangan untuk menyamakan shalat Witir dengan shalat Maghrib8).

Sunnah-Sunnahnya

- Disunnahkan setelah membaca surat al-Fatihah- pada rakaat pertama membaca surat al-A’la, sedangkan pada rakaat kedua, membaca surat al-Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat al-Ikhlas.

- Setelah shalat witir disunnahkan membaca bacaan berikut sebanyak tiga kali:

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ ، رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ


“Maha Suci (Allah) Raja Yang Maha Suci, Tuhan malaikat dan ruh (Jibril)”

- Disunnahkan melakukan qunut pada rakaat terakhir dalam shalat Witir, baik sebelum ruku’ ataupun sesudah ruku’, namun yang lebih utama dilakukan sesudah ruku’.

Catatan:

  1. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, oleh Syeikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan, hal 167.
  2. Lihat al-Mu’jamul al-Wasith, 1/380, al-Mulakhash al-Fiqhi, 1/167
  3. Duruus Ramadhaniah, Waqafaat Li as-Sho’imin, Salman bin Fahd al-Audah
  4. Lihat Syarh Shahih Muslim, oleh Imam An-Nawawi, 6/ 262. Lihat juga Fatawa Lajnah Da’imah (Kumpulan Fatwa yang dikeluarkan oleh komisi fatwa Kerajaan Saudi Arabia), 7/195
  5. Lihat al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, 2/604, Fatawa Lajnah Da’imah, 7/198
  6. Majmu’ Fatawa, Syaikh Ibn Baz, 11/339-340
  7. Lihat Majmu’ Fatawa, Syeikh Ibn Baz, 12/181
  8. Lihat Shalat al-Mu’min, DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qohthoni, hal. 326
Sumber: www.pks-arabsaudi.org


Pamrih Suara, Bolehkah?


Oleh: Musyaffa Ahmad Rahim

Banyak teman-teman bertanya: boleh nggak kita melakukan kegiatan bakti sosial atau aksi kepeduliaan dengan maksud supaya partai kita dipilih dalam pemilu, atau sapaya “jagoan” kita dalam PILKADA ditusuk, atau boleh nggak kita melakukan berbagai kegiatan supaya diliput media, masuk tivi, ditulis di koran dan semacamnya? Bukankah hal ini termasuk riyâ’ dalam arti beramal supaya terlihat orang lain, atau sum’ah dalam arti beramal supaya cerita tentang amal ini sampai dan didengar oleh banyak kalangan?

Pertanyaan semacam ini bagi saya gampang-gampang susah menjawabnya. Jawaban pertanyaan semacam ini menjadi gampang menjawabnya manakala kita jawab dengan “ya” atau “tidak” hanya berdasarkan muatan lahiriah dari pertanyaannya. Kita jawab “ya” dalam arti memang hal inilah yang disebut riyâ’ atau sum’ah adalah sesuatu yang gampang, terlebih memang maksud sang penanya, dengan gaya bahasanya yang fait a comply ini, memang menghendaki jawaban demikian, dan bisa jadi, wallâhu a’lam, jawaban “ya” seperti ini akan menjadi sebuah dasar atau pijakan atau asas untuk melakukan “vonis” di sana sini bahwa si A yang melakukan aksi sosial, atau si B yang membuat aksi kepeduliaan dan sebagainya memang sedang mengobral riyâ’ atau sum’ah. Dan bisa jadi juga, wallâhu a’lam, jawaban ini akan menjadi cemeti ampuh untuk menghalau banyak pihak supaya tidak memberikan dukungan, atau istilahnya menjadi bahan yang dahsyat untuk melakukan penggembosan amal.

Pertanyaan seperti di atas, rasanya gampang juga untuk kita jawab “tidak”, dalam arti semua kegiatan dan aksi seperti di atas “tidak”-lah termasuk riyâ’ ataupun sum’ah. Kenapa gampang dijawab demikian? Sebab, masalah riyâ’ atau sum’ah itu kan masalah hati, sedangkan yang mengetahui isi hati hanyalah Allah SWT, sedangkan para pelaku kegiatan atau aksi tersebut, selama ini sudah dikenal keikhlasan dan ketulusannya.

Namun, walaupun jawaban “tidak” juga gampag diberikan, tetap saja jawaban ini mengandung komplikasi, betapa tidak, hukum, atau vonis, atau penilaian itu kan didasarkan pada hal-hal yang bersifat lahiriah! Sedangkan lahirian yang tampak, aksi atau kegiatan itu sangat dekat dan terkait sekali dengan pemilu atau PILKADA!

Akan tetapi, benarkah menjawab pertanyaan di atas itu gampang dan mudah seperti itu? Untuk menjawab pertanyaan terakhir ini, mestilah ditelusuri terlabih dahulu hal-hal berikut ini:

Pertama: Khair, Walaupun Tidak Ikhlash, Namun, Pahala Besar, Jika Ikhlash
Di dalam Al-Qur’an, ada satu ayat yang sangat menarik untuk direnungkan, terlebih dalam kaitan “Latar Belakang dan Masalah” di atas. Yaitu Q.S. An-Nisâ’: 114.
Point-point yang bisa digali dari ayat ini adalah:

  1. Kebanyakan najwâ (berbisik-bisik) tidaklah memiliki khair (kebaikan).
  2. Namun, ada juga najwâ yang membawa khair (kebaikan), yaitu: najwâ yang memerintahkan orang lain untuk bersedekah, atau memerintahkan orang lain untuk berbuat ma’rûf, atau najwâ yang dilakukan dalam rangka mendamaikan dua pihak yang sedang bertikai.
  3. Tiga hal ini, yaitu najwâ yang memerintahkan orang lain untuk bersedekah, atau memerintahkan orang lain untuk berbuat ma’rûf, atau najwâ yang dilakukan dalam rangka mendamaikan dua pihak yang sedang bertikai, tetaplah khair walaupun yang melakukannya tidak ikhlash .
  4. Namun, agar semua amal tadi mendapatkan pahala yang besar di akhirat, hendaklah semuanya dilakukan dengan ikhlash (ibtighâ’a mardhâtillâh).

Al-Hâfizh Ibn Rajab menjelaskan alasan mengapa tetap khair walaupun tidak ikhlash, yaitu :

  1. Sebab manfaat dari ketiga model kegiatan ini manfaatnya dapat dirasakan oleh publik, walaupun pelakunya tidak ikhlash sekalipun.
  2. Sebab, sisi khairiyah dari tiga model kegiatan ini dampaknya akan berantai dalam arti orang lain akan tergerak hatinya untuk berbuat yang sama atau bahkan lebih baik lagi, dan bisa jadi, di antara yang ter-“tular” oleh model amal ini adalah orang-orang yang ikhlash.

Keterkaitan pembahasan ini dengan “Latar Belakang dan Masalah” terletak pada keharusan untuk berhati-hati dalam menjatuhkan “hukum” atau “vonis” atau “penilaian” tentang suatu perbuatan, jangan segera kita vonis dengan: pamrih, riyâ’, sum’ah, tidak ikhlash, demi meraih suara, dukungan dan sebagainya, terlebih menjadi “vonis” sepihak ini sebagai pijakan untuk memobilisasi orang lain untuk tidak ikut serta dalam suatu aksi sosial atau kegiatan kepeduliaan sosial, atau untuk melakukan penggembosan terhadapnya, sebab, pernik-pernik dan lika-liku menilai sesuatu itu memang tidak mudah dan tidak gampang, contohnya adalah pembahasan kajian Q.S. An-Nisâ’: 114 ini.

Kedua: Jika Sedekah Ditampakkan, Betapa Indahnya itu, dan Jika Dirahasiakan, Itu Yang Terbaik
Judul ini adalah kutipan dari terjemahan Q.S. Al-Baqarah: 271

Pelajaran yang bisa digali dari ayat ini antara lain:

  1. Allah SWT menyanjung sedekah yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan dengan sanjungan: fani’immâhiya (betapa bagus dan indahnya hal itu).
  2. Dan jika sedekah dilakukan secara rahasia dan langsung diberikan kepada faqir miskin, maka hal itu lebih baik.

Jika demikian, saat kita melihat suatu aksi sosial, atau kegiatan kepeduliaan sosial, yang boleh jadi dilakukan secara terbuka, diliput media, masuk tivi dan sebagainya, kenapa kita tidak menilainya seperti penilaian Allah SWT?! Kenapa kita tidak menilainya dengan penilaian: fani’immâhi?! Akan lebih bagus lagi kalau kita tidak hanya sebatas memberikan penilaian demikian, akan tetapi, kita langsung terjun, ikut terlibat dan bergabung dalam aksi dan kegiatan tersebut, agar kita tercakup dalam penilaian Allah SWT: fani’immâhi!!!

Bahwa kalau hal itu dilakukan secara rahasia itu lebih baik, ini masalah lain, dan adakalanya terdapat murajjihat (hal-hal yang menguatkan) untuk melakukan suatu amal secara terang-terangan, dan murajjihat ini bisa jadi menjadikan kegiatan yang terang-terangan itu lebih kokoh (âkad) secara syar’i.
Ketiga: Karena Maqâshid Tertentu, Suatu Amal Sebaiknya Dilakukan Secara Terang-Terangan

Islam mengajarkan bahwa suatu amal terkadang perlu dilakukan dan dipublikasi secara terbuka. Ada maksud-maksud tertentu (maqâshid) yang dibenarkan oleh Islam.
Pelaksanaan shalat ‘Ied misalnya. Sunnah Rasulullah SAW mengajarkan agar dilakukan di lapangan terbuka, dengan memobilisir semua potensi umat, termasuk wanita yang sedang haidh diminta hadir di lapangan terbuka itu. Bahkan wanita yang tidak mempunyai jilbab, demi menghadiri acara terbuka di lapangan itu, dibenarkan untuk meminjam dari yang lainnya, dan yang mempunyai jilbab berlebih hendaklah meminjamkan kepada yang tidak punya.

Maksud dari hal ini adalah: agar mereka menyaksikan al-khair dan da’watal muslimîn. Mungkin ada yang berpendapat: ini kan dalam urusan ibadah, dan dalam ibadah tidak boleh ada qiyâs atau analogi!
Bisa jadi pendapat ini benar, akan tetapi, bagaimana dengan hadits berikut ini:

عن أبي هريرة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” من أصبح منكم اليوم صائما ؟ ” قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، قال : ” فمن تبع منكم اليوم جنازة ؟ ” قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، قال : ” فمن أطعم منكم اليوم مسكينا ؟ ” قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، قال : ” فمن عاد منكم اليوم مريضا ؟ ” قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” ما اجتمعن في امرئ ، إلا دخل الجنة ” * (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Siapa di antara kamu yang pagi ini berpuasa? Abu Bakar RA menjawab: “saya”. Rasulullah SAW bersabda: “Lalu, siapa di antara kamu yang telah mengantarkan jenazah?”. Abu Bakar RA menjawab: “Saya”. Rasulullah SAW bersabda: “Lalu, siapakah di antara kamu yang telah memberi makan orang miskin pada hari ini?”. Abu Bakar RA menjawab: “Saya”. Rasulullah SAW bersabda: “Lalu, siapakah di antara kamu yang hari ini telah menjenguk orang sakit?”. Abu Bakar RA menjawab: “Saya”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Hal-hal seperti ini tidak terhimpun pada seseorang kecuali orang itu masuk surge”. (HR. Muslim, no. 1769, 4504).

Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan hal yang mirip seperti ini, hanya saja, yang melakukannya adalah Umar bin Al-Khaththab RA .
Jangan Nggembosi lah

Al-Qur’an banyak berisi ayat-ayat yang mendorong manusia untuk beramal, baik amal yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan maupun amal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Di antaranya adalah Q.S. Al-Baqarah: 278.

Di sisi lain, Al-Qur’an sangat mencela orang-orang yang berusaha menggembosi orang lain untuk beramal, dan Al-Qur’an Al-Karim menjelaskan bahwa cara-cara nggembosi ini adalah cara orang-orang munafiq, semoga Allah SWT hindarkan kita semua dari sifat, perbuatan dan cara-cara orang munafiq.
Adalah Q.S. At-Taubah: 79 yang menjelaskan demikian.

Secara garis besar, ayat ini menjelaskan:

  1. Di antara orang-orang munafiq, ada orang-orang yang mencibir para sukarelawan dalam bersedekah.
  2. Orang yang bersedekah banyak secara terbuka, sebagaimana dilakukan oleh Abdurrahman bin Auf, mereka cibir dengan pernyataan: “aah, itu kan karena riyâ’ dan sum’ah”.
  3. Dan orang yang bersedekah sedikit, seperti yang dilakukan oleh Abû Aqîl Abdurrahman bin Tîjân, mereka cibir dengan pernyataan: “yach, sumbangan kok Cuma satu shô’ kurma, Allah SWT Maha Kaya, segitu itu apa artinya?”. Padahal, dalam rangka dapat menyumbang satu Shô’ ini Abû Aqîl “memaksakan” diri bekerja pada suatu malam (bukan siang), demi mendapatkan suatu upah, dan ternyata upahnya adalah satu shô’ kurma tadi, dan paginya, dia sumbangkan untuk perjuangan Rasulullah SAW. Kenapa Abû Aqîl “memaksakan diri”? sebab dia betul-betul ingin menyumbang, akan tetapi, dia tidak mempunyai apa pun yang bisa ia sumbangkan, maka, dia bekerja, walaupun harus di malam hari, demi “dapat menyumbang” dalam perjuangan. Seseorang yang ber-tadhhiyyah seperti ini, ternyata oleh orang munafiq dicibir.

Hal ini memberi pelajaran penting kepada kita, bahwa:

  1. Allah SWT sangat menghargai orang yang bekerja, aktif dan berjihad dalam kerjanya ini.
  2. Allah SWT sangat tidak menyukai orang-orang yang suka melakukan penggembosan terhadap orang lain untuk beramal.

Untuk itu, tidak usah lah kita meributkan tentang keikhlasan atau ketidak ikhlasan suatu amal yang dilakukan oleh orang lain, akan tetapi, adakah kita berada pada barisan orang-orang yang beramal?

Tentang keikhlasan, marilah kita introspeksi dan melihat diri kita sendiri, dan jadikan masalah keikhlasan ini antara kita dengan Allah SWT, kita tidak diminta untuk membedah hati orang lain untuk mengetahui adakah dia ikhlash dalam amalnya?

Positif Thinking Dalam Menilai

Rasulullah SAW juga mengajarkan kepada kita, agar dalam menilai suatu amal, hendaklah kita menilainya dengan mengedepankan penilaian positif dan membuat penilaian negatif, minor serta sinis. Kecuali bila suatu amal itu telah nyata-nyata negatif.

Diceritakan bahwa suatu kali Rasulullah SAW menceritakan bahwa ada seseorang berniat bersedekah pada suatu malam, dan ternyata, sedekahnya pada malam hari itu jatuh kepada seorang pencuri, setelah dia mengetahui bahwa penerima sedekahnya adalah seorang pencuri, dia berkata: Allahumma laka al-hamdu (alhamdulillah), besok malamnya dia bersedekah lagi, ternyata penerimanya adalah wanita pelacur, begitu dia mengetahui bahwa penerimanya adalah seorang peacur, dia berkata: Allahumma laka al-hamdu, besok malamnya dia bersedekah lagi, dan ternyata penerimanya adalah orang kaya.

Semua sedekah yang “salah sasaran” ini ternyata semuanya diberi tafsir positif oleh Rasulullah SAW. Tentang pencuri yang menerima sedekah, ditafsirkan: semoga dengan sedekah itu dia tidak lagi mencuri, tentang wanita pelacur, diberi tafsir: semoga dengan sedekah itu dia tidak lagi melacur, dan tentang orang kaya: semoga dia mengambil ibrah .

Hadits ini memberi pelajaran kepada kita, hendaklah kita belajar untuk menjadi manusia-manusia yang lebih cerdas, pintar dan cekatan dalam memberi tafsir positif, agar manusia terpacu untuk beramal, dan janganlah kita menjadi bagian dari orang-orang yang memandang perbuatan dan ucapan orang lain dengan menggunakan kaca mata hitam, apalagi menggunakan kaca mata kuda, sebab, membangun motivasi orang untuk beramal itu jauh lebih sulit.

Penutup

Beberapa uraian di atas menggambarkan bahwa:

  1. Menilai sesuatu itu memang gampang-gampang susah, oleh karena itu, serahkanlah masalah penilaian ini kepada Allah SWT, Dzat yang maha mengetahui segala rahasia. Pamrih atau tidak pamrih, itu bukan domain kita.
  2. Belajar untuk possitive thinking itu sangat perlu, agar barisan orang-orang yang beramal semakin banyak.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufiq, hidayah dan bimbingan kepada kita untuk menjadi manusia-manusia yang mendengar berbagai pendapat, pandangan dan ucapan, lalu kita dibimbing oleh-Nya untuk mengikuti yang terbaik, amiiin.

Melompat Lebih Tinggi


Ini sebuah kisah nyata yang diceritakan oleh seorang bijak. Suatu malam,seorang laki-laki datang ke rumahnya dan berkata, "Ada sebuah keluarga dengan delapan anak yang sudah berhari-hari tidak makan." Mendengar hal itu bergegaslah orang bijak itu pergi membawa makanan untuk mereka.

Ketika tiba di sana ia melihat wajah anak-anak itu begitu menderita karena kelaparan. Tak ada kesedihan ataupun kepedihan di wajah mereka, hanya derita yang dalam karena menahan lapar.

Orang bijak itu memberikan nasi yang dibawanya pada sang ibu. Ibu itu lantas membagi nasi itu menjadi dua bagian, lalu ke luar membawa setengahnya. Ketika ia kembali, orang bijak itu bertanya, "Kau pergi kemana?" Ibu itu menjawab, "Ke tetangga-tetanggaku. Mereka juga lapar."

Orang bijak itu tercengang. Ia tidak heran kalau si ibu membagi nasi itu dengan tetangga-tetangganya, sebab ia tahu orang miskin biasanya pemurah. Yang ia herankan adalah karena si ibu tahu bahwa mereka lapar. Biasanya kalau kita sedang menderita, kita begitu terfokus pada diri sendiri, sehingga tak punya waktu untuk memikirkan orang lain.

Si ibu dalam cerita di atas adalah contoh orang yang telah dapat melampaui dirinya sendiri. Ia dapat melepaskan keterikatannya pada kebutuhan fisik dan secara bersamaan memenuhi kebutuhan spiritualnya yaitu untuk berbagi dengan orang lain. Kualitas semacam ini tentu tak dapat diraih dalam waktu singkat. Ini memerlukan proses pergulatan batin yang cukup panjang.

Kehidupan manusia memang senantiasa menjadi tempat pergulatan dua kepentingan utama: fisik dan spiritual. Kepentingan fisik adalah hal-hal yang kita butuhkan untuk bisa hidup di masa sekarang, seperti sandang, pangan dan papan. Ini kebutuhan jangka pendek kita. Sementara, kepentingan spiritual adalah hal-hal yang kita butuhkan untuk hidup di masa sekarang dan masa yang akan datang. Ini adalah kebutuhan jangka pendek sekaligus jangka panjang.

Pemenuhan kedua macam kebutuhan ini akan menghasilkan kualitas hidup yang tinggi. Sayang, banyak orang yang tak menyadari hal ini. Mereka menghabiskan hidup mereka hanya untuk mengumpulkan harta benda. Untuk itu mereka juga tak segan-segan menggunakan cara yang buruk: menciptakan kebijakan yang menguntungkan diri sendiri, menguras uang rakyat, mencuri uang perusahaan, maupun menciptakan konspirasi yang merugikan orang banyak.

Kalau kita renungkan secara mendalam, semua kejahatan yang ada di dunia ini berasal dari satu kata: keserakahan. Dan, akar keserakahan adalah pada cara kita memandang hidup ini. Selama kita melihat diri kita semata-mata makhluk fisik belaka, selama itu pula kita tak dapat membendung keinginan kita untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Betapa banyaknya dalam kehidupan sehari-hari kita melihat orang yang berpenghasilan biasa-biasa saja, tetapi memiliki harta yang luar biasa banyaknya.

Ada banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk merasionalkan hal itu. Pertama, semua orang yang mendapat kesempatan pasti akan melakukannya. Kedua, penghasilan yang saya dapatkan terlalu kecil dan tidak seimbang dengan pengorbanan yang saya berikan. Ketiga, toh kekayaan yang saya dapatkan tidak saya nikmati sendiri tetapi saya gunakan untuk membantu anak yatim, membiayai orang tua dan saudara yang sedang sakit, membangun sekolah, dan sebagainya. Dengan berbagai alasan tersebut kita mendapatkan ''ketenangan sementara'' karena seolah-olah perbuatan yang kita lakukan telah berubah menjadi legal, rasional atau paling tidak dapat dimaklumi.

Namun, ketenangan semacam ini tidaklah langgeng. Pasti ada sesuatu dalam diri kita yang kembali mengusik kita, membuat kita resah dan gelisah. Perhatikanlah orang-orang yang hidup dengan cara ini. Mereka sangat rentan terhadap perubahan yang sekecil apapun. Mereka sangat jauh dari ketentraman yang sejati. Betapapun banyaknya harta yang mereka kumpulkan tak akan pernah melahirkan perasaan cukup dan puas. Sebuah pepatah mengatakan, "The world is enough for everybody, but not enough for one greedy." Apa yang disediakan oleh dunia ini sebetulnya cukup untuk semua orang, tetapi tidak akan cukup untuk seorang yang rakus.

Sebuah perubahan dramatis akan terjadi begitu kita sadar bahwa kita bukanlah makhluk fisik tetapi makhluk spiritual. Kita menjadi makhluk spiritual untuk selama-lamanya. Sebelum muncul ke dunia, kita adalah makhluk spiritual, ketika hidup sekarang kita juga makhluk spiritual, dan ketika kita meninggal kita tetap menjadi makhluk spiritual. Kita hanya menjadi makhluk fisik di dunia ini saja.

Salah satu cara paling efektif untuk menyadari hal itu adalah dengan berpuasa. Dengan puasa kita akan sadar bahwa kebutuhan (ini berbeda dengan keinginan) kita sebetulnya sangatlah sedikit. Berpuasa juga akan menyadarkan kita bahwa dengan mengurangi kenikmatan fisik kita akan mendapatkan kenikmatan spiritual yang luar biasa. Dengan berpuasa kita keluar melampaui 'diri rendah' kita menuju Diri kita yang lebih tinggi.

Dengan puasa kita lepaskan keterikatan kita pada gravitasi bumi. Kita bergerak melesat mengikuti gravitasi langit. Semoga puasa kali ini dapat
membuat kita lebih baik.
[Republika]