TETAP PARTAI DA’WAH, MESKI PKS TERUS DIFITNAH


Bayan Dewan Syari’ah Pusat Partai Keadilan Sejahtera

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi rabbil alamin wasshalatu wassalamu 'ala sayyidil mursalin, nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in. Wa ba'du…


Fenomena partai da'wah PKS dalam blantika perpolitikan nasional telah mengundang banyak hal. Ada ketercengangan, ada pertanyaan, ada pula kekhawatiran bahkan kecurigaan. Menghadapi laju PKS di ranah politik sekaligus ranah da'wah, berbagai pihak melakukan ragam cara. Bertambah banyak yang simpati lalu mendukung, tapi tidak sedikit yang menebar halang rintang dengan langkah politis, bahkan ada yang menebar kedustaan dengan isu keagamaan. Cara yang terakhir ini berulang kali
dimunculkan berbarengan dengan perjuangan politik PKS melalui pemilu
legislatif dan pilkada.

Sebagai partai da'wah yang berfungsi memberikan pencerahan kepada masyarakat luas, PKS harus menjelaskan siapa ia sebenarnya. Sesuai AD-ART partai, lembaga yang berkompeten menjelaskan pandangan dan sikap keagamaan PKS adalah Dewan Syari'ah. Sedangkan pandangan atau sikap keagamaan kader PKS secara individual tidak mencerminkan pandangan dan sikap partai.

Berikut ini pandangan resmi Dewan Syari'ah Pusat PKS tentang beberapa masalah keagamaan yang telah dipolitisir.

1. PKS dan Ahlussunnah Wal Jama'ah

Sebagai partai dakwah PKS berpegang teguh kepada aqidah ahlussunnah waljamaah dengan sumber rujukan utama sebagaimana termaktub dalam Ittijah Fiqih Dewan syari'ah PKS, berupa Mashadir Asasiyah (sumber hukum primer) yang disepakati oleh Jumhur Ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah, yaitu al-Qur'an, Sunnah yang suci, ijma' dan qiyas.

2. PKS dan 'Wahabisme'

Tidak ada hubungan antara PKS dengan 'Wahabiyah', yaitu gerakan yang dipimpin Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di negeri Hijaz yang bertujuan untuk memurnikan 'aqidah dari Takhayul, Bid'ah dan Khurafat (TBC), berkerja sama dengan Malik Abdul Aziz dan menggunakan berbagai cara dari yang sifatnya halus sampai yang radikal.

Jelas tidak ada hubungan historis karena PKS lahir pasca reformasi 1998. Tidak ada hubungan struktural organisatoris antara PKS dengan organisasi keagamaan di Saudi Arabia. Bahwa di antara pimpinan PKS pernah studi di Saudi Arabia, hal yang sama berlaku juga pada ormas Islam yang lain. Bahkan ada yang pendirinya pernah mukim di sana. Tapi tidak lantas ormas-ormas tersebut boleh dituduh sebagai pengusung
'Wahabiyah'.

3. Kolektivitas dan keberagaman di PKS

Sebagai partai da'wah yang berprinsip kejama'ahan, maka sifat kolektifitas menjadi ciri PKS yang mewadahi keberagaman, baik dalam rekruting kader maupun pandangan keagamaan dan politiknya.

- Ketua Majelis Syura PKS KH. Hilmi Aminuddin alumni Universitas Islam Madinah, dekat dengan kalangan Persis.

- Duta besar RI di Saudi Arabia Habib DR. Salim Segaf Al Jufri adalah seorang habib cucu pendiri Al Khairat dan salah seorang pendiri Partai Keadilan. Beberapa habaib yang lain fungsionaris PKS seperti Habib Abu Bakar Al Habsyi, Habib Nabil Al Musawwa, Habib Fahmi Alaydrus.

- Presiden pertama Partai Keadilan DR. H. Ir. Nurmahmudi Ismail, MSc lulusan Amerika, berlatar belakang pesantren di Kediri yang kental ke NU-annya.

- Presiden kedua Partai Keadilan dan PKS yang kini Ketua MPR RI DR. H. M. Hidayat Nurwahid, MA lulusan Universitas Islam Madinah, berlatar belakang Muhammadiyah.

- Presiden PKS yang sekarang Ir. H. Tifatul Sembiring alumni sekolah tinggi teknik di Indonesia dan kursus manajemen politik di Pakistan punya latar belakang organisasi di PII

- Ketua MPP-nya Drs. H. Suharna Surapranata, MT lulusan UI dan Jepang berlatar belakang aktivis masjid kampus.

- Ketua Dewan Syari'ah PKS KH. DR. Surahman Hidayat, MA tamatan universitas Al Azhar Mesir yang bermazhab Syafi'i, latar belakangnya NU dan PUI, sebelumnya PII dan HMI.

- Beberapa anggota Dewan Syari'ah Pusat juga berlatar belakang NU seperti KH. DR. Muslih Abdul Karim, MA murid kesayangan KH. Abdullah Faqih, Langitan. H. Bukhari Yusuf, MA, sekretaris DSP, murid kesayangan KH. Noer Ahmad S, ahli Ilmu Falak NU. H. Bakrun Syafi'i, MA alumni Pesantren Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta adalah murid kesayangan KH Ali Ma'shum. H. Amang Syafruddin, Lc, Msi alumnus Pesantren NU Cipasung, Tasikmalaya yang sering dipuji sebagai murid
nomor 1.

- Beberapa ulama seperti Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, MS (ketua Baznas), DR. Ahzami Samiun, MA. (putra dari tokoh NU, KH. Samiun Jazuli), Prof. DR. Ahmad Syathori (alumni pesantren Babakan Ciwaringin dan Buntet), adalah tempat bertanya dan rujukan kader PKS.

4. Furu'iyah di PKS

Da'wah PKS menekankan pada tema-tema besar yang bersifat prinsip (qadhaya ushuliyah). Ini supaya da'wah PKS bersifat mempertemukan mempersatukan (jami'ah tajmi'iyah) dan tidak menimbulkan perselisihan/perpecahan (tafriqiyah).

Ittijah fiqh (orientasi fikih) Dewan Syari'ah PKS mendahulukan fiqh persatuan (i-tilaf) daripada fiqh perbedaan (ikhtilaf). Menggali dan mengambil faidah dari khazanah fiqhiyah yang ada dengan prinsip "Almuhafazhatu 'alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah" mengambil pendapat klasik yang masih cocok dan pendapat baru yang lebih maslahat.

Tapi dalam praktik keseharian memperhatikan harmoni dengan mazhab yang banyak dipraktikan yaitu madzhab Syafi'i. Mengedepankan cara kompromi (thariqatul jam'i) atas tarjih, dan menggunakan prinsip keluar dari khilafiah (khuruj 'anil khilaf) sejauh dimungkinkan. Kemudian terhadap perbedaan dalam masalah cabang (furu') mengedepankan sikap toleran (tasamuh). Prinsip yang dipegang "NATA'AWANU FIMA ITTAFAQNA 'ALAIHI WA YA'DZURU BA'DHUNA BA'DHAN FIMA IKHTALAFNA FIHI" – Bekerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan saling menghormati dalam hal-hal yang diperselisihkan.

5. Sikap PKS dalam masalah khilafiyah

Berikut ini beberapa masalah khilafiah/furu'iyah yang sering dijadikan alat untuk memfitnah PKS dan pandangan resmi Dewan Syari'ah Pusat PKS tentang itu.

a. Do'a Qunut

Bagaimanapun do'a qunut status hukumnya sunat. Yang disepakati adalah do'a qunut dalam shalat witir, qunut nazilah dalam shalat fardhu yaitu memohon tolak bala dari kaum muslimin dan mendo'akan bencana bagi musuh Islam.

Adapun qunut shubuh tetap saja merupakan masalah khilafiyah. Masalah pilihan, paling tinggi posisinya antara rajih dan marjuh, bukan antara sunnah dan bid'ah. Jadi tidak ada bid'ah dalam qunut shalat fajar.

Dan mengamalkan yang marjuh bisa menjadi pilihan jika membawa kemaslahatan dalam mu'amalah. Jadi bukan sikap plinplan, tapi cerminan sikap bijak dan cerdas. Secerdas Imam Muhammad bin al Hasan al Syaibani murid Imam Abu Hanifah yang melakukan qunut ketika ziarah ke Mesir dan menjadi imam shalat shubuh. Ini karena beliau menghormati Imam Syafi'i –imam madzhab yang dominan di Mesir.

Dan sebijak Imam Syafi'i yang tidak qunut shubuh ketika beliau ziarah ke Imam Muhammad di Baghdad.

Dalam pengamalan di acara-acara PKS kadang qunut shubuh kadang juga tidak, tergantung imamnya. Dan itu tidak pernah ada masalah.

b. Membaca do'a dan tahlil untuk yang meninggal

Pada dasarnya membaca do'a untuk mayit dianjurkan (sunat). Berkat ikatan 'aqidah tauhid, tidak terputus hubungan sesama muslim dengan yang sudah mati sekalipun. Dalam al Quran ada do'a "Rabbanagfirlana wa li-ikhwanina alladzina sabaquna bil imani, wala taj'al fi qulubina ghillan lilladzina amanu.. rabbana innaka raufurrahim". (QS 59: 10).

Menghadiahkan bacaan Surah al Fatihah atau lainnya untuk mayit, atau mewaqafkan/menshadaqahkan sesuatu atas nama atau menujukan pahalanya untuk mayit merupakan amal shalih yang diterima, sesuai pendapat jumhur ulama.

Istigfar, tasbih, tahmid dan tahlil merupakan bagian dari keseluruhan do'a yang dibaca. Waktu berdo'a untuk mayit tidak harus dibatasi pada waktu atau harihari tertentu, dan tidak boleh disyaratkan, sehingga pilihan waktunya lebih luang dan leluasa sesuai kesempatan atau kemampuan.

c. Perayaan maulid Nabi saw

Perayaan memperingati maulid Nabi Muhammad saw menurut sebagian riwayat, digagas oleh Sultan Salahuddin al Ayyubi di Mesir dalam rangka meningkatkan ruhul jihad umat Islam. Sampai hari ini Universitas Al Azhar sendiri mensyi'arkan peringatan maulid Nabi saw.

Bagi kepala pemerintahan seperti Sultan Salahuddin, hal itu merupakan kebijakan yang sesuai syari'ah (siyasah syar'iyah), yang didefinisikan imam Ibnu Uqail sebagai perbuatan yang dilakukan karena lebih maslahat bagi masyarakat dan lebih menghindarkan mereka dari mafsadat, meskipun tidak pernah disabdakan atau dicontohkan oleh Nabi saw.

Adapun bagi masyarakat muslim, peringatan maulid Nabi saw pertimbangannya adalah semata-mata kemaslahatan (mashlahah mursalah). Dasar pertimbangan maslahat ini juga yang menyeleksi ragam acara yang dipandang membawa maslahat. Tentu saja dalam konteks ini ada ruang bagi tradisi dan kreasi yang baik, sehingga ada variasi dari tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu yang lain. Jika dibarengi niat yang lillah, untuk meninggikan Dinullah dan tidak ada sesuatu yang melanggar syari'ah dalam mata acaranya, insya Allah bernilai 'ibadah.

Di lingkungan PKS, biasa diadakan peringatan maulid Nabi saw baik oleh DPP maupun struktur di bawah. Bahkan dianjurkan agar pelaksanaannya bekerjasama dengan masjid, lembaga keagamaan atau masyarakat sekitar.

Para kepala pemerintahan kader PKS biasa memprakarsai atau mensponsori. Para da'i atau asatidz kader PKS biasa menjadi penceramah dalam peringatan ini.

d. Yasinan

Disebutkan dalam sebuah riwayat Imam Ahmad bahwa Surah Yasin merupakan qalbunya al Quran. Membacanya merupakan 'ibadah. Disepakati anjuran membacanya di samping orang yang sakit parah. Boleh dibaca untuk pengobatan dengan ruqyah syar'iyah. Boleh membacanya untuk yang sudah meninggal, menurut jumhur ulama.

Sejauh ada pendapat yang membuka peluang 'amal, adalah tidak bijak menutupnya bagi siapa yang ingin melakukannya.

Waktu membacanya luas, boleh siang apalagi malam dan pada waktu-waktu yang khidmat. Tidak perlu dibatasi pada waktu tertentu. Pertimbangannya adalah kesempatan dan kekhidmatan.

Membiasakan acara membaca al Quran atau memilih surat-surat tertentu, insya Allah merupakan 'adah shalihah atau tradisi yang baik. Memilih surat tertentu untuk dilazimkan dibaca, bukan karena mensyaratkan atau membatasi, tapi karena lebih menyukainya atau lebih familiar, insya Allah merupakan kebajikan, semoga Allah mempertemukan pembacanya dengan surat yang dicintai.

Secara umum, merupakan kebijakan dalam da'wah PKS untuk menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan (ihyaul sunnah al mahjurah) dan tradisi Islami yang menyemarakkan syi'ar Islam sebagai cerminan ketaqwaan.


Melalui bayan ini kami serukan kepada segenap pencinta kebenaran dengan semangat iman dan keadaban, agar tidak termakan oleh fitnah dan hasutan baik lisan maupun melalui selebaran gelap yang menuduh PKS adalah Wahabi dan bukan Ahlussunnah Wal Jama'ah. "Berbuat dusta dan menyebarkannya adalah dosa besar" (HR Bukhori).

Hasbunallah wani'mal wakil, wahuwal muwaffiq ila aqwamith thoriq

Jakarta, 21 Syawwal 1429 /21 Oktober 2008

Dewan Syari'ah Pusat
Partai Keadilan Sejahtera
KH. DR. Surahman Hidayat, MA
Ketua

Type H Behavior

Oleh: PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
(REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH)

ADA penelitian psikologi sosial terhadap masyarakat kapitalis di Barat yang mengindikasikan mereka terjangkit ”type H behavior” atau sebut saja virus 3H.

Ini sekaligus sebuah peringatan untuk kalangan eksekutif dan masyarakat kelas atas Indonesia, mengingat virus 3H dimaksud potensial menyergap kehidupan mereka.Ketiganya adalah hurried,hostile,humorless.

Pertama hurried,suatu sikap yang selalu tergesa-gesa,selalu merasa dikejar-kejar oleh waktu sehingga di manapun berada selalu tidak tenang. Jatah waktu 24 jam sehari atau tujuh hari seminggu rasanya tidak cukup untuk menjalani agenda hidup mereka. Coba saja amati atau renungkan kondisi kita sendiri, fisik dan pikiran jarang menyatu dalam ruang dan waktu yang sama.

Badan kita di sini, tetapi pikiran berada di tempat lain, baik karena sudah ada janji maupun ingin mengejar kegiatan lain. Kondisi mental semacam ini semakin luas menghinggapi masyarakat papan atas.

Hidupnya meloncat dari satu tempat ke tempat lain,minimal pikiran dan emosinya.Teknologi jam tangan yang semula diciptakan sebagai penanda waktu, kini posisinya berbalik malah mendikte dan merampas kebebasan manusia.

Kalender dan jam tangan bukan lagi sebagai hiasan,namun telah menjadi tonggak-tonggak yang mematok dan memagari langkah mereka.Mereka menjerat dirinya dengan kalender dan jam.Mereka juga tidak bisa hidup tanpa telepon genggam sehingga perhatian dan pikirannya bercabang dan beranting ke segala penjuru.

Coba amati perilaku di jalan raya.Semua ingin cepat,namun yang terjadi justru ramai-ramai membuat kemacetan dan kekesalan serta pemborosan.Kita terjebak dan terkena imbas dari hydro carbon society yang menjerat masyarakat kapitalis.

Coba tengok juga sajian acara televisi. Bagi pemilik stasiun televisi, jam siaran adalah uang, sehingga campur aduk silih berganti antara materi sajian pokok dan iklan lantaran tanpa iklan industri televisi akan mati. Pemasang iklan adalah tambang emas. Setiap menonton televisi, tangan mesti memegang remote control untuk memindah saluran yang satu ke yang lain.

Mata dan pikiran pun meloncat-loncat tidak karuan, mengikuti sajian yang berubah-ubah.Dari berita kriminal, gosip selebriti,penggusuran rumah,demo pemilihan kepala daerah, mimbar agama, lawak dan lain-lain yang menghasilkan campur sari suguhan televisi yang tidak selalu enak dan sedap ditonton.

Ketika bicara di telepon,kita juga selalu ingin cepat karena dikejar ongkos pulsa.Bertamu pun jangan lama-lama dan mesti tahu diri karena tuan dan nyonya rumahnya sibuk. Begitu pun ketika menghadap pejabat, harus ingat dengan jatah menit yang telah ditentukan oleh sekretarisnya karena dalam birokrasi justru sekretaris yang mengatur bos.

Bos adalah orang yang sibuk yang harus diatur, siapa pun yang berurusan dengan dia mesti hemat waktu. Lalu ada lagi yang ingin cepat kaya,maka korupsilah dia.Karena semuanya dilakukan tanpa suasana batin yang tenang, jarang muncul pemikiran yang jernih dan dalam.

Busy is the way of life.Hurried,hurried,hurried..... Virus mental kedua adalah hostile. Ini masih bersaudara dengan virus pertama. Siapa cepat siapa dapat. Maka berlombalah untuk berebut apa saja, sejak dari berebut jabatan lurah, camat, bupati, anggota legislatif, sampai presiden.Hostile adalah rasa persaingan dan permusuhan karena takut tidak kebagian.

Yang miskin membenci yang kaya karena dianggap rakus dan tidak dermawan, yang kaya tidak menghargai yang miskin karena dianggap sebagai gangguan dan ancaman yang akan merampok kekayaan mereka.

Maka dibuatlah pagar rumah tinggi-tinggi serta pos satpam serta anjing galak.Ke mana pun pergi, mesti ada pengawal pribadi. Untuk berjaga diri kalau sewaktuwaktu muncul sengketa bisnis, maka banyak orang kaya yang memiliki lawyer pribadi, bukan sekadar pengawal dan dokter pribadi.

Virus mental hostile juga telah menghinggapi para pejabat dan politisi.Mereka memandang pihak yang berbeda sebagai ancaman yang sewaktu-waktu akan merebut posisinya, terlebih menjelang pemilu.
Iklim curiga dan tidak senang pada orang lain mudah terlihat dalam ruang publik, terutama di jalan raya.

Masing-masing sangat sadar untuk mencari aman bagi dirinya seraya curiga pada yang lain. Jika terjadi serempetan kendaraan, bukannya berhenti lalu saling bertegur dengan lapang dan menambah kenalan baru, namun muka masam dan bentakan yang pertama muncul. Karenanya, siapa pun yang merasa menabrak bukannya berhenti minta maaf, malah lari kencang untuk cari selamat.

Hal yang juga membuat kita kecewa,hubungan antarmantan presiden dan antarmantan pejabat tinggi negara juga terserang virus hostility. Bukannya menunjukkan sikap saling bersahabat dan secara kompak ikut prihatin mencari solusi perbaikan bangsa yang masih terpuruk ini, namun yang sering mengemuka di media adalah sering mengkritik di belakang ketimbang memberikan apresiasi dan sharing gagasan konstruktif.

Tampaknya sebagian dari kita lebih senang membenci ketimbang memberi apresiasi. Padahal, pujian dan kalimat bagus itu memberikan energi kehidupan lebih tinggi dan mampu menciptakan kohesi sosial dan optimisme masa depan.

Sebaliknya,katakata dan kalimat negatif memiliki energi rendah, cenderung memperlemah hubungan sosial, serta tidak memiliki daya dorong kuat untuk maju dan membuat loncatan prestasi. Ada kalanya memang terjadi, kritik dan cacian akan membuat seseorang bangkit, tetapi hal itu tidak didasari dengan sikap yang tulus.

Jika kedua macam virus mental di atas telah menyerang kesadaran bawah sadar seseorang, dia akan mengisolasi diri dan jadi pemurung, meski berada di tegah keramaian. Perhatikan saja orang yang selalu hidup tergesagesa dan hatinya cenderung melihat orang lain sebagai pesaing dan ancaman, pembawaannya sulit tertawa (humourless).

Kalaupun tertawa terlihat seperti dipaksakan, tidak lepas.Padahal, setelah diteliti tertawa itu menyehatkan secara pribadi maupun sosial. Di lingkungan masyarakat Barat, peredaran obat penenang dan obat tidur melonjak berlipat-lipat akibat masyarakatnya terserang virus 3H ini.

Tetapi kalau soal tertawa, bagi masyarakat Indonesia, terutama masyarakat bawah, justru lebih mudah dijumpai ketimbang masyarakat papan atas yang tampak selalu serius dan gelisah. Mereka memiliki kiat hidup yang tinggi sehingga bisa tertawa dan bercanda dengan kegetiran hidup dan problem sosial yang dihadapi.Parade pulang mudik Lebaran, misalnya, yang oleh kalangan elite dipandang susah dan menyengsarakan, bagi para pekerja kuli dan pembantu rumah tangga bisa dijinakkan sebagai festival yang membahagiakan.

Jerih payah setahun di kota hilang dan terobati dengan pulang mudik ketemu keluarga dan handai taulan di kampung dengan bekal uang pas-pasan. Idealnya virus 3H itu diubah, sehingga masyarakat papan atas kita menjadi honored, humble, and happy. Hidup terhormat, rendah hati, dan semoga mendatangkan bahagia.(*)

Kendalikan Nafsu, Itu Jalan ke Surga

Oleh: Dr. Amir Faishol Fath

Setiap kali kita berbiacara tentang puasa selalu kita teringat tentang pengendalian nafsu. Sebab puasa adalah ibadah mengendalikan nafsu. Dalam Al Qur’an masalah pengendalian nafsu adalah masalah penting. Dan bahkan Allah swt. menegaskan bahwa mengendalikan nafsu adalah jalan ke surga. Dalam surah An Nazi’at:40-41 Allah berfirman: Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). Ayat ini menunjukkan beberapa makna:

Pertama, bahwa setiap manusia dihadapkan kepada dua kekuatan yang saling tarik-menarik: kekuatan takut kepada Allah dan kekuatan hawa nafsu. Bila takutnya kepada Allah lebih kuat, maka ia akan mengendalikan nafsunya. Begitu nafsu dikendalikan, syetan tidak berdaya menggodanya. Ketika syetan tidak berdaya, maka amalnya akan selalu baik. Karena itu dalam bulan Ramadhan kita menyaksikan masjid-masjid penuh, siang maupun malam. Dan suasana seperti itu sulit kita temukan di luar Ramadhan. Sebab begitu nafsu makan dibuka, syetan kembali berkuasa. Karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa dari dibukanya nafsu makan terbuka otomatis pintu-pintu syetan untuk menguasai manusia. Jelasnya bahwa dengan kuatnya rasa takut kepada Allah yang pertama kali akan dikendalikan nafsu. Lalu dari sini pintu-pintu kebaikan akan terbuka lebar. Bila amal baik terus-menerus dilakukan secara istiqamah, maka ia akan masuk surga.

Kedua, menguatkan rasa takut kepada Allah (khaafa maqaama rabbihi) adalah modal utama untuk senantiasa istiqamah bermal saleh. Karena itu dalam Al Qur’an Allah swt. Selalu menekankan pentingnya membangun al kahuf atau al khasyyah ini. Pada ayat sebelumnya di surat An Nazi’at juga, Allah swt. memerintahkan Nabi Musa agar mengajak Fir’un supaya takut kepada Allah. Sebab dengan takut kepada Allah Fir’un tidak akan bertindak sombong lagi. Jadi sikap sombongnya Fira’un mucul karena tidak adanya khasyyah. Dan khasyyah tidak akan muncul tanpa ilmu, Allah berfirman innama yakhsyallahu min ibaadihil ulamaa’u (sesungguhnya hanya orang yang punya ilmu yang takut kepada Allah) (QS. Fathir:28). Karena itu Nabi Musa diutus untuk mengajarkan kepada Fir’aun hakikat kekuasaan Allah swt. Sampai-sampai Nabi Musa menunjukkan mukjizatnya yang agung (al aayatal kubraa) hanya untuk meyakinkan Fir’aun, tetapi ternyata Fir’aun tetap bertahan dalam kekafiran. Bahkan Fir’aun malah mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan dengan berkata: ana rabbukumul a’laa (aku tuhanmu yang paling tinggi). Suatu kenyataan bahwa tanpa rasa takut yang kuat nafsu akan berkuasa. Puncak gejolak nafsu adalah kesombongan. Allah lalu menjelaskan bahwa dalam peruistiwa Fir’aun terdapat pelajaran bagi orang yang takut kepada Allah. Lagi-lagi masalah takut khasyyah dipertagas oleh Allah swt. Menunjukkan betapa pentingnya membangun rasa takut untuk mecapai ketaatan yang maksimal.

Ketiga, mengendalikan nafsu adalah kata kunci untuk mencapai surga. Karena itu dalam ayat di atas Allah swt. langsung menegaskan: fainnal jannata hiyal ma’wa. Bahwa hanya dengan mengendalikan nafsu seseorang akan menjadi baik dan penuh amal saleh. Berbagai kemaksiatan yang menghancurkan hidup manusia, itu pasti ujung-ujungnya adalah karena ikut nafsu. Dengan demikian tidak ada kebaikan sama sekali bila ternyata nafsu dibebaskan tanpa kendali. Ibadah puasa membuktikan bahwa mengendalikan nafsu bukan suatu yang mustahil. Lebih-lebih bahwa pengendalian nafsu ketika puasa adalah pengendalian dari halal. Maka dengan ibadah puasa kelak tidak ada alasan untuk berbuat yang haram. Artinya bisa dikatakan kepada mereka: engkau telah menahan nafsu dari yang halal, maka tidak ada alasan bagimu untuk melaukan yang haram. Ini suatu bukti, bahwa nafsu sebenarnya sangat lemah. Nafsu tidak akan mampu memaksa seseorang melakukan dosa. Bisa ada seseorang yang terjerumus dosa itu bukan karena dahsyatnya nafsu, melainkan kerena lemahnya iman. Dengan demikian jalan satu-satunya untuk mengendalikan nafsu adalah kuatkan iman, Karena itu Allah panggil yaa ayyuhalladziina aamanuu (wahai orang yang beriman) dalam perintah puasa pada ayat 183 surah Al Baqarah. Suatu indikasi bahwa hanya orang-orang yang kuat imannya yang akan bersungguh-sungguh mengendakikan nafsunya. Wallahu’alm bishshawab

Jalan Taubat Sang Rocker

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

“Cinta yang tulus di dalam hatiku,
Telah bersemi karena-Mu
Hati yang suram
kini tiada lagi
Tlah bersinar karena-Mu
Semua yang ada pada-Mu
Membuat diriku
tiada berdaya
Hanyalah bagi-Mu
Hanyalah untuk-Mu
Seluruh hidup
dan cintaku…”

Masih terngiang lirik lagu Cinta Yang Tulus yang dinyanyikan Bangun Sugito alias Gito Rollies, yang popular di tahun 80an. Lagu yang pernah dipopularkan The Rollies itu memang liriknya terkesan religius. Namun kesan itu menjadi paradoks ketika tahu sisi gelap dari kehidupan si pelantun tembang tersebut. Penampilan Gito kala itu urakan dengan rambut awut-awutan dan celana jin belel menghiasi kejayaan The Rollies Band di era 1980-an. Bahkan lagu-lagu cadas meluncur dari suara seraknya. Segudang kendugalannya kerap dikupas dan menjadi langganan infotainment.

Sudah menjadi rahasia umum bila dunia selebritis di mana pun berada selalu dekat dan akrab dengan dunia gemerlap (dugem) yang kerap diselingi berbagai macam kesenangan sesaat seperti narkoba dan obat-obatan terlarang lainnya. Tak terkecuali pria kelahiran Biak, 1 November 1947 ini.

“Tiap Jumat siang kami berangkat ke daerah Puncak Bogor untuk pesta miras dan narkoba,” Ungkap Gito dengan nada sesal.

Sebelum merasakan ke-Mahaan Allah dalam dirinya, Bangun Sugito hidup dalam serba kecukupan. Bergelimang kemewahan, bergiat dalam kehidupan malam, bertemankan jarum neraka. Begitulah hari demi hari yang dilalui seolah pakaian yang tak pernah lepas dari badannya.

Bahagiakah hidup seperti itu? Mendatangkan ketenangankah semua itu? Sebuah pertanyaan yang belum terjawab, sebuah rasa yang belum pernah ada dan sebuah keinginan yang belum tercapai. Pada akhirnya semuanya hanya menghantarkannya ke alam risau, resah dan gelisah.

Klimaks terjadi kala ia merayakan ulangtahunnya yang ke-50 pada 1997. Di situ, Gito mengundang seluruh karibnya untuk berpesta alkohol dan obat sepuasnya.

Dalam kerisauan panjang, beriring desah dan keluh kesah, daerah Puncak Bogor –Puncak dikenal sebagai tempat rekreasi di daerah Jawa Barat– selalu menjadi tempat menumpahkan penat, mengubur kegundahan yang membuncah. Wal hasil bukan ketenangan yang didapat bahkan gelisah itu makin menjadi. Namun dari daerah inilah benih hidayah itu mulai mekar membesar. Puncak menjadi tempat bersejarah, tempat solusi menjawab segala kerisauan.

Saat itu hari Jumat siang. Pria dengan rambut awut-awutan ini masih memegang botol miras, duduk di tempat yang tinggi sambil sesekali memandang ke arah bawah. Pandangannya tertuju kepada beberapa warga desa yang ramai menuju mesjid, hatinyapun bergetar, kerisauanpun kembali mengusik hati.

“Mereka dengan kesahajaan bisa menemukan kebahagiaan. Apakah di Masjid ada kebahagiaan?!” Pertanyaan itu selalu mengusik Gito.

Sungguh pemandangan indah di hari Jumat itu, memberi arti tersendiri bagi kehidupan Gito Rollies. Sulit dibedakan keterusikan karena sekedar ingin tahu atau ini adalah awal Allah membukakan hatinya bagi pintu tobat.

Dicobanya untuk mendekati Masjid itu, subhanallah, seperti ada magnit yang memendekkan langkahnya untuk tiba. Mungkin di sana ada kebahagiaan. Terlihatlah sebuah pemandangan yang meluluhlantakan kegelisahannya selama ini.

“Rasanya seluruh otakku tiba-tiba dipenuhi oleh kekaguman. Dan entah kenapa, aku seperti mendapatkan ketenangan melihat orang-orang ruku, sujud dalam kekhusuan,”

“Bukankah apa yang kulakukan selama ini untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenapa tidak? Ya, aku telah bergelut dengan kesalahan dan tetek bengeknya yang semuanya adalah dosa. Benarkah Allah tidak akan mengampuni dosaku? Lantas buat apa aku hidup jika jelas-jelas bergelimang dalam ketidakbahagiaan.” Pikiran itu terus bergelayut seakan haus jawaban.

“Malam itu aku benar-benar tidak dapat memejamkan mata. Aku gelisah sekali. Ya, ternyata aku yang selama ini urakan, permisive ternyata masih takut dengan dosa dan neraka. Berhari-hari aku mengalami kegelisahan yang luar biasa. Hingga suatu malam, di saat kegelisahanku mencapai “puncaknya”, aku memutuskan untuk memulai hidup baru.

“Selama hidupku, baru kali ini aku diliputi suatu perasaan yang belum pernah aku rasakan semenjak mulai memasuki dunia selebritis. Maka, aku pun segera berwudlu dan melakukan shalat. Ketika itu, untuk pertama kalinya pula aku merasakan kebahagiaan dan kedamaian. Dan sejak hari itu, aku memutuskan untuk tekun memperdalam agama sekalipun masih banyak sekali tawaran-tawaran menggiurkan yang disodorkan kepadaku atau pun beragam ejekan dari sebagian orang. Aku pun melaksanakan haji seraya berdiri dan menangis di hadapan ka’bah memohon kepada Allah kiranya mengampuni dosa-dosa yang telah aku lakukan pada hari-hari hitamku.”

Ketika mentari terbit, Gito langsung mengajak istrinya untuk pergi ke Bandung, menjenguk sang ibunda. Di sana, ia mengutarakan niatnya untuk tobat yang disambut tangis haru sang ibu. Sejak saat itu, Gito resmi meninggalkan dunia kelam.
Satu yang disyukuri Gito adalah, dukungan dan kesabaran sang istri, Michelle, yang tak pantang habis.

“Saat aku sudah belajar agama, aku tidak berupaya menyuruhnya shalat. Ia tiba-tiba belajar shalat sendiri, begitu juga anak-anak. Suatu hari, ketika aku pulang, tiba-tiba aku mendapatinya tengah mematut diri di depan kaca sambil mengenakan jilbab. Padahal aku tidak pernah menyuruhnya. Subhanallah, istriku memang yang terbaik yang pernah diberikan Allah,” kata ayah dari empat putra ini.

Tobatnya Gito juga disyukuri oleh sang mertua, warga negara Belanda yang berimigrasi ke Kanada. Meski berbeda keyakinan, ibu mertuanya justru senang dengan perubahan yang dialami Gito.

“Kata beliau, aku jadi lebih kalem ketimbang dulu, meski sekarang pakai jenggot segala. Bahkan aku jadi menantu favoritnya lho,” tuturnya sambil terkekeh.

“Mengapa Allah memberikan hidayah kepada diriku yang kerdil ini? Mengapa Allah menciptakan makhluk yang penuh dosa ini?”

Gito mengaku harus merenung lama untuk menemukan jawaban itu. Setelah dia menjalankan shalat dan menunaikan haji, jawaban itu baru mampir di benak dan pikirannya. “Ternyata, Allah menciptakanku untuk menjadi manusia baik. Semula mengikuti idolaku, Mick Jagger. Aku menjadi penyanyi dan rekaman lalu mendapat honor. Tapi itu bukan kebahagiaan sepenuhnya buatku.”

“Mick Jagger itu dulu menjadi idolaku. Ikut mabok, main cewek, dan seabrek dunia kelam lain. Tapi sekarang aku mengidolakan Nabi. Dan sekarang, aku menemukan nikmat yang tiada tara.”

Kalimat itu meluncur dengan lugas dari Gito Rollies, artis ndugal yang kini memilih ke pintu pertobatan. Penampilan Gito tak lagi urakan dengan rambut awut-awutan dan celana jin belel. Bukan pula pelantun lagu-lagu cadas yang berjingkrak-jingkrak tidak keruan.

“Aku sudah mendapatkan banyak hal di dunia ini. Sekarang saatnya mengumpulkan amal untuk persiapan menghadapi hari akhir ,” katanya ketika memberi testimoni tentang perubahan dalam hidupnya.

Artis kelahiran Biak, Papua, 1 November 1947 dengan nama bangun Sugito ini awalnya dikenal sebagai rocker. Dalam perjalanan karirnya, ia juga dikenal sebagai aktor dan terakhir dalam kondisi sakit ia menjadi penceramah agama.

Nama Gito terlihat diambil dari nama aslinya, sementara nama Rollies diambil dari nama grup band asal Bandung, The Rollies yang pernah terkenal pada dekade 1960-an hingga 1980-an. Grup ini terdiri dari vokalis Gito, Uce F Tekol, Jimmy Manoppo, Benny Likumahuwa, Teungku Zulian Iskandar.

Setelah bersolo karir, dia menelorkan sejumlah album solo, yakni Tuan Musik (1986), Permata Hitam/Sesuap Nasi (1987), Aku tetap Aku (1987), Air Api (1987) dan Tragedi Buah Apel (1987) dan Goyah (1987).

Sebagai aktor Gito memulai debutnya di dunia film lewat Buah Bibir (1973) sebagai figuran. Setelah benar-benar menjadi aktor ia bermain dalam Perempuan Tanpa Dosa (1978), Di Ujung Malam (1979) dan Sepasang Merpati (1979), dan Permainan Bulan Desember (1980), dan Kereta Api Terkahir (…). Namun kekuatan aktingnya terlihat pada Janji Joni yang mengantarkannya meraih piala Citra untuk kategori Aktor Pembatu Pria Terbaik pada Festival Film Indonesia tahun 2005.

Kang Gito, begitu sapaan akrabnya, memang bukan lagi Gito Rollies yang lama. Sejak 10 tahun belakangan, hidupnya berubah 180 derajat. Kini, ia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, mantan personel band The Rollies ini tak segan-segan menyerukan semua orang untuk meninggalkan kehidupan yang dipenuhi alkohol dan obat-obatan terlarang.

“Dalam hidup ini -apa pun agamanya- adalah paling baik mengikuti ajaran agama. Karena inilah yang akan membentengi kita -terutama anak-anak- dalam menjalani cobaan hidup,” lanjut ayah tiga anak dari perkawinan dengan Michelle: Puja, Bayu dan Bintang.

Toh, meski sudah berada di jalan Allah, Gito tak pernah merasa dirinya yang paling benar. Ia selalu menolak jika disebut kyai, atau diminta untuk berceramah. Menurutnya, ia hanyalah orang yang masih terus belajar agama. Apapun yang diucapkannya di depan umum adalah upayanya berbagi cerita.

Bahkan, Gito masih merasa belum cukup bertobat hingga akhir hayatnya. Tak pernah sekalipun ia merasa dosa-dosanya telah terhapuskan. Dalam suatu pengajian ia sempat bertanya kepada ustadz yang berceramah, apakah dosa-dosanya di masa lalu bisa berkurang dengan perbuatannya saat ini.

“Tak hanya berkurang, namun dosa Kang Gito bahkan sudah dianggap lunas. Kang Gito jangan berpikir perbuatan baik saat ini untuk bayar dosa yang lalu. Sekarang Kang Gito tengah menabung untuk masa depan,” jawab sang ustadz, yang disambut Gito dengan wajah sumringah.

Sejak 1990-an nama Gito hilang dari peredaran setelah dia menarik diri dari dunia panggung musik rock maupun film. Khalayak pun tidak lagi menyaksikan aksi-aksi penyanyi bersuara serak dengan gaya panggungnya yang atraktif. Beberapa tahun kemudian Gito muncul menjadi seorang dai, yang kerap tampil dengan pakaian putih-putih.

Sejak 2005 Gito harus terbaring lemah. Ia tak berdaya melawan kanker kelenjar getah bening yang dideritanya. Namun kemudian ia justru terlihat banyak melakukan kegiatan dakwah. Bahkan sebelum meninggal Gito masih sempat berdakwah di Padang, Sumatera Barat selama 11 hari.

Tahun-tahun belakangan memang terasa berat buat Michelle Sugito wanita asal Kanada yang telah mendampingi hidupnya selama ini. Ia harus mendampingi suaminya menjalani terapi pengobatan kanker kelanjar getah bening yang dirasakan penyanyi rock ini, dua tahun terakhir.

Sosok Bangun Sugito yang atletis dan enerjik di panggung sudah menjadi bagian masa lalu. Untuk berjalan pun kini ia harus dibantu atau minimal menggunakan tongkat. Kadang ia memang menolak untuk dibantu. “Maunya sih tidak dibantu. Tetapi karena aku selalu bicara bahwa manusia harus saling membantu, ya aku juga harus mau dibantu orang lain,” kata Gito.

Karena itulah ia juga tidak menolak ketika diminta ikut dalam acara penggalangan dana buat korban gempa bumi Yogyakarta yang digagas orang tua murid tempat isterinya bertugas. Gito menganggap saat ini sudah saatnya ia bernyanyi untuk berdakwah, sesuatu yang ia harapkan ada manfaatnya buat para pendengarnya.

Sebab itu pulalah ia lebih memilih menyanyikan lagu-lagu bernuansa religius ketimbang lagu-lagu nunasa masa lalu seperti,“Astuti…Tuti..Tuti…”

Bersamaan dengan sumbangan yang mengalir dari undangan, air mata Michelle Sugito makin deras mengalir.

Ya, Gito Rollies memang pribadi yang penuh kenangan. Kehidupannya tersimpul dalam satu kalimat ‘Mantan lalim, yang jadi orang alim’. Masa mudanya memang sangat dekat dengan miras, narkoba dan hura-hura. Selama kurang lebih 23 tahun tidak menyurutkan niat rocker gaek bernama lengkap Bangun Sugito ini untuk tobat dan mendalami agama.

Dialah satu-satunya Rocker yang meninggal dengan tenang, indah dan tersenyum. Happy Ending. Seandainya Sid Vicious meninggal dengan tenang di St Paul’s Cathedral, Kurt Cobain dan Jimmy Hendrix meninggal mesra di St James Cathedral maka sepertinya tidak akan ada stigma: Rocker mati konyol dengan mulut berbusa atau berlumuran darah karena bertingkah bodoh akibat pengaruh narkoba. Dan mitos “Rocker Legend mati muda” pun sudah mulai usang karena Legend kita yang satu ini tutup usia di umur 61 tahun.

Gito menigggalkan seorang isteri bernama Michelle dan lima anak, yakni Galih Permadi, Bintang Ramadhan, Bayu Wirokarma, dan Puja Antar Bangsa.

Sebaik-baik usia tiap orang adalah pada penghujungnya. Dan ketahuilah, bagi kita, ujung-ujung usia akan selamanya menjadi misteri, karena seringkali di sanalah Allah memberikan kesudahan yang indah dari perjalanan taubat hamba-Nya.

Ila Robbika Muntahaha. Innama Anta Mundziru Man Yaghsya [dakwatuna.com]

Dari Laundry Mendulang Hidayah

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. al-Baqarah:266)

Ayat ini menerangkan, bahwa akhirat bagi seorang mukmin adalah segala-galanya. Sebagaimana dalam kehidupan dunia, masa tua adalah masa penentu kebahagiaan seseorang. Setidaknya seperti itulah –walau tidak sama persis–perjalanan menemukan Islam yang dialami seorang wanita lansia yang sehari-hari berprofesi sebagai petugas laundry pada sebuah asrama mahasiswa di Inggris.

Tidak ada sisi menarik pada wanita ini, tua renta, pegawai rendahan dan hidup sendirian. Setiap kali bertemu dia selalu membawa kantong plastik berukuran besar yang terisi penuh dengan pakaian kotor. Untuk pekerjaan kasar seperti ini penghuni rumah jompo ini terbilang cekatan di usianya yang sudah terbilang uzur. Di Inggris, masyarakat yang memiliki anggota keluarga lansia biasanya cenderung memasukkan mereka ke panti jompo. Dan tentu saja keadaan miris ini harus diterima kebanyakan para orangtua dengan besar hati agar tidak membebani anak mereka. Namun di tengah kondisi seperti itu sepertinya tidak membuat kecil hati tokoh kita ini yang justeru begitu getol mengisi hari-harinya bergelut dengan cucian kotor.

Wanita baya itu lebih suka dipanggil auntie atau bibi. Dia sudah bekerja sebagai petugas laundry hampir separuh usianya. Beruntung baginya masih ada instansi yang bersedia mempekerjakan para manula.

“Aku merasa dihargai meski sudah tua. Lagipula, orang-orang seperti aku ini sudah tidak ada yang mengurus, kalau bukan diri sendiri. Anak-anakku sudah menikah dan tinggal bersama keluarga mereka masing-masing. Suamiku sudah meninggal. Walaupun anak-anak suka menjenguk, tapi aku tetap ingin punya kegiatan sendiri untuk mengisi masa tua,” ujarnya

“Bukan untuk kerja yang berat memang, tapi setidaknya, selain menambah penghasilan juga mengisi hari tua. Mungkin itu lebih baik daripada harus tinggal diam di panti jompo.” Ujarnya lagi dengan wajah sendu.

“Sedih juga kalau harus tinggal sendirian. Seperti seorang temanku. Dia juga dulu bekerja sebagai petugas laundry bersamaku. Sampai akhirnya, anak perempuan satu-satunya menikah. Namun setelah menikah, anak perempuannya itu tidak pernah menghubunginya,” bibi berkisah.

Bagi sang Bibi profesinya sebagai petugas laundry justeru membuatnya lebih dekat dengan sepak terjang, liku-liku penghuni asrama yang rata-rata adalah mahasiswa dari luar Inggris. Sang Bibi paham betul kebiasaan para mahasiswa yang tinggal di asrama ini selain belajar sehari-hari, adalah pergi clubbing sekedar “having fun”. Banyak asrama memiliki bar, café, ruang duduk untuk menonton televisi, ruang musik dan fasilitas olahraga sendiri.

Dan salah satu sisi negatif pergaulan dengan orang Inggris adalah bila mereka sudah dekat botol miras, biasalah mereka sampai benar-benar mabuk. Dan dapat dibayangkan kekacauan yang terjadi. Muntah merata di sebarang tempat, kencing dalam celana dan sebagainya. Inilah perbuatan paling bodoh yang pernah dilakukan oleh manusia sejak terciptanya minuman beralkohol. Bukan saja menghilangkan akal sehat, tetapi juga si pemabuk akan merasa kelelahan dan sakit kepala yang teramat sangat (hangover).

Saat para penghuni asrama masih dibuai mimpi karena kelelahan habis clubbing semalaman suntuk. Tinggalah sang Bibi memunguti pakaian kotor itu setiap hari. Dan terkadang harus diangkut dari kamar, jauh sebelum mereka bangun dari tidur. Kemudian disortir dengan teliti satu persatu berdasarkan jenis bahan, ukuran, warna dan yang lebih spesifik lagi dipisahkankannya pakaian dalam dari yang lain. Begitu pekerjaan rutin itu dilakukan dengan penuh dedikasi tinggi walau diujung usianya yang semakin menua.

Waktu terus berjalan, sementara sang Bibi tanpa putus asa terus bergelut dengan ‘dunia kotor’nya. Idealnya di penghujung usianya itu seharusnya masa bagi seseorang menuai hasil kerja payahnya di masa muda. Namun situasilah yang menyebabkan dia harus menanggung berbagai persoalan hidup, maka sungguh itu merupakan masa tua yang tidak membahagiakan. Di dalam kondisi yang sudah tidak mampu banyak berbuat, dia justru dituntut harus banyak berbuat. Dalam kondisi produktivitas menurun ia justru dituntut untuk berproduksi tinggi.

Entah sampai kapan dia harus melakoni pekerjaan itu. Maka sampailah suatu saat asramanya kedatangan penghuni baru yaitu beberapa mahasiswa muslim dari Timur Tengah yang mendapat tugas belajar dari negaranya. Mereka sudah terdaftar akan menempati salah satu kamar di asrama tempat sang Bibi bekerja.

Bagi kebanyakan pelajar timur tengah sangat langka memilih tinggal di asrama. Mereka biasanya membeli rumah atau flat yang sudah disesuaikan untuk menampung kelompok kecil siswa, pasangan atau keluarga. Ada juga beberapa pemilik tempat perorangan mengijinkan rumah-rumah mereka dikelola dan disewakan.

Tinggal di asrama merupakan cara terbaik untuk bertemu orang-orang baru dan menjalin persahabatan yang langgeng. Inilah salah satu pertimbangan mereka memilih tinggal di asrama. Kesadaran inilah yang menepis kekhawatiran akan terjadinya gegar budaya atau “cultural shock“.

Hidup dalam komunitas non muslimlah justeru kita dituntut untuk membuktikan nilai-nilai Islam yang tinggi ini sebagai sebuah solusi bagi manusia. Tentunya ini adalah pekerjaan dakwah yang merupakan tanggungjawab setiap muslim dimana saja berada. Dengan tetap menjaga keistimewaan kita sebagai muslim yaitu kesalehan.

Hari-hari terus berlalu, tampaknya si Bibi ini betul-betul perhatian dengan apa yang dicucinya. Sampai-sampai dia tahu ini pakaian si A, ini si B dan seterusya. Tidak terkecuali dengan pakaian kotor milik mahasiswa dari Timur Tengah tadi. Namun saat dilakukan sortir pakaian dalam, si Bibi merasa ada sesuatu yang tidak biasa, karena dari semua pakaian yang dicucinya, hanya pakaian muslim arab saja yang terlihat tidak kotor, tidak berbau, tidak kumuh dan tidak banyak noda dipakaiannya.

Kejadian langka ini semakin mendorong rasa penasaran si Bibi. Lagi-lagi pencuci pakaian di asrama ini selalu merasa aneh saat mencuci celana dalam mereka. Berbeda dengan yang lain, kedua pakaian dalam mereka selalu tak berbau.

Maka masih dalam keadaan penasaran, si Bibi memutuskan bertanya langsung dengan ‘pemilik celana dalam’ itu. Saat ditanya kenapa. Dua orang ini menjawab, ”Kami selalu istinja setiap kali kencing.” Pencuci baju ini bertanya lagi, ”Apakah itu diajarkan dalam agamamu?”

“Ya!” Jawab dua orang pelajar muslim tadi.

Merasa belum yakin 100% dengan jawaban itu, akhirnya si Bibi datang menemui salah seorang tokoh muslim yaitu Doktor Sholeh– Pengajar di sebuah perguruan Tinggi Islam di Saudi, saat ditugaskan ke Inggris– Wanita tua ini menceritakan keheranannya selama bertugas perihal adanya pakaian dalam yang ‘aneh’.

Ada beberapa pakaian dalam yang tidak berbau seperti kebanyakan mahasiswa umumnya, apa sebabnya? Maka ustadz ini menceritakan karena pemiliknya adalah muslim, agama kami mengajarkan bersuci setiap selesai buang air kecil maupun buang air besar, tidak seperti mereka yang tidak perhatian dalam masalah seperti ini.

Betapa terkesan ibu tua ini jika untuk hal yang kecil saja Islam memperhatikan apatah lagi untuk hal yang besar, pikir pencuci baju itu. Dan tidak lama kemudian ia mengikrarkan syahadat, masuk Islam dengan perantaraan pakaian dalam!

Tidak disangka ternyata diam-diam si tukang cuci masuk Islam, gemparlah para mahasiswa yang tinggal di asrama tersebut, yang kebanyakan adalah non muslim. Mereka berusaha ingin tahu sebab musabab si Bibi masuk islam. Dia menjawab dengan yakin bahwa dirinya sangat kagum dengan kawan muslim Arab ini, karena dari semua pakaian yang dicucinya, hanya pakaiannya sajalah yang terlihat tidak macam-macam. Dan dengan hidayah Allah Swt, dirinya dapat membedakan antara pakaian seorang muslim dan non muslim.

Hidayah memang bisa datang kapan saja dan pada siapa saja. Selama ini mungkin kita lebih sering mendengar masuk Islamnya seorang non muslim ke dalam Islam lebih disebabkan pada hal-hal luar biasa dan penting. Tapi yang ini benar-benar tidak biasa. Mendapat hidayah di penghujung usia gara-gara pakaian dalam! Sungguh takdir Allah benar-benar telah jatuh berketepatan dengan kegigihannya selama ini mengisi hari-hari di sisa hidupnya sebagai petugas laundry. Disinilah letak rahasia nikmat Allah yang agung yang mempertemukan antara takdirNya dan ikhtiar manusia. Sungguh Allah tidak pernah menyia-nyiakan amal seorang hambaNya.

Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari jalur al-Aufi dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhu beliau berkata, “Allah subhanahu wata´ala telah membuat perumpamaan yang sangat bagus, dan seluruh perumpamaan dari Allah adalah bagus. Allah subhanahu wata´ala berfirman, “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah, Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. al-Baqarah:266)

Ayat ini menjelaskan tentang perumpamaan seseorang yang tadinya kaya dan banyak melakukan amal kebaikan, lalu Allah subhanahu wata´ala mengujinya dengan melalui godaan syetan sehingga ia berbalik melakukan kemaksiatan, dan akhirnya amal-amal kebaikan tersebut lenyap tenggelam.

Jadi jelasnya ayat ini merupakan permisalan tentang amal seseorang yang tadinya senatiasa melakukan kebaikan-kebaikan, lalu di tengah perjalanan hidupnya berubah haluan menjadi melakukan keburukan-keburukan. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wata´ala dari hal itu. Akhirnya amalnya yang terkahir mengalahkan amalnya yang terdahulu yang baik-baik. Kemudian ketika ia sangat butuh terhadap amalnya yang pertama, tatkala dalam kondisi sulit dan sempit (di akhirat) ternyata dia tidak memperolah pahala amal itu sedikit pun karena telah sirna.

Jika manusia demikian khawatirnya terhadap bayangan kebangkrutan masa tua di dunia, maka seharusnya mereka lebih khawatir lagi dengan “masa tua akhirat”. Dan itulah yang terjadi pada kaum salaf, para shahabat, tabi’in, para imam dan orang-orang shalih yang menempuh jalan mereka.

Jika mereka ditaqdirkan oleh Allah subhanahu wata´ala dengan rizki yang banyak (kaya), maka mereka sangat khawatir jika harta itu kelak akan mengurangi “jatah” mereka di akhirat. Sehingga mereka buru-buru menginfaqkan harta tersebut fi sabilillah dan jalan-jalan kebaikan. Kesadaran mereka terhadap kebutuhan akhirat sedemikian besar, sehingga seluruh kemampuan mereka di dunia digunakan untuk bekal menyongsong kehidupan akhirat.

Mereka telah menjual diri dan dunia mereka kepada Allah subhanahu wata´ala demi “masa tua” di akhirat, masa ketika mereka sudah tidak mampu lagi untuk beramal dan berbuat, masa ketika mereka menikmati usaha dan jerih payah di dunia. Mereka sangat khawatir jika di masa-masa seperti ini, justru terjerumus dalam kebangkrutan dan kerugian yang besar. Bagaimana dengan kita? [dakwatuna.com]

Panduan Shalat Taraweh dan Witir

Shalat Taraweh
Taraweh (التراويح) dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari tarwiihah (ترويحة), yang artinya beristirahat dan santai sejenak. Kalimat ini pada mulanya bermakna “duduk” secara umum. Kemudian dikenal sebagai “duduk yang dilakukan setelah melakukan shalat empat rakaat di malam bulan Ramadhan”. Karena pada saat itu, mereka yang shalat beristirahat sebentar dari shalatnya, mengingat panjangnya shalat yang mereka lakukan1). Akhirnya istilah tersebut dilekatkan kepada nama shalat itu sendiri secara kiasan2).

Shalat Taraweh Pada Zaman Rasulullah dan Khulafa’urrasyidin

Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu-anha, bahwa saat masuk bulan Ramadhan, Rasulullah shalat di masjid (Nabawi), lalu diikuti oleh beberapa orang, kemudian beliau shalat lagi pada hari keduanya, yang mengikutinya semakin banyak. Kemudian pada malam ketiga atau keempat para shahabat sudah berkumpul (untuk shalat bersama Rasulullah), namun beliau tak kunjung muncul.

Di pagi harinya Rasulullah bersabda kepada mereka:

» رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ اْلخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ «


“Saya melihat apa yang kalian lakukan (tadi malam). Tidak ada yang mencegah saya keluar (untuk shalat) bersama kalian, hanya saja saya khawatir (shalat taraweh tersebut) diwajibkan kepada kalian” (Muttafaq alaih)

Kesimpulannya, pada awalnya shalat taraweh zaman Rasulullah dilaksanakan secara berjamaah, kemudian setelah itu tidak dilakukan secara berjamaah, karena Rasulullah khawatir jika shalat tersebut dilaksanakan secara berjamaah terus menerus, akan turun ayat yang mewajibkan hal tersebut kepada kaum muslimin, sehingga mereka tidak mampu melakukannya.

Begitulah seterusnya hal tersebut berlanjut; shalat taraweh dilakukan sendiri atau berkelompok-kelompok hingga wafatnya Rasulullah dan seterusnya di masa khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Baru kemudian pada zaman khalifah Umar bin Khottob pelaksanaannya dikembalikan seperti semula yaitu dengan berjamaah.

Abdurrahman bin ‘Abd al-Qory meriwayatkan:

“Saya keluar bersama Umar bin Khottob di (malam) bulan Ramadhan menuju mesjid. Di sana orang-orang terbagi-bagi dalam melakukan shalat; ada yang sholat seorang diri, ada yang shalat mengimami beberapa orang. Menyaksikan hal tersebut Umar berkata:

“Saya berpendapat, akan lebih baik jika mereka dikumpulkan dengan satu imam,”

Maka beliau segera mewujudkan keinginannya dengan memerintahkan Ubai bin Ka’ab untuk menjadi imam bagi orang yang shalat Taraweh…

Kemudian di malam berikutnya saya keluar (menuju mesjid) dan menyaksikan orang-orang yang shalat (taraweh) dipimpin oleh seorang imam. Maka saat itu Umar:

» نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ «

“Inilah sebaik-baik bid’ah” (Riwayat Bukhori)

Maka sejak zaman itu hingga kini, pelaksanaan shalat taraweh dilakukan secara berjamaah di masjid-masjid dan telah menjadi sunnah yang diterima dan dilaksanakan kaum muslimin di seluruh dunia.

Catatan:
Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud “bid’ah” dalam perkataan Umar di sini adalah pengertian bid’ah secara bahasa, artinya “sesuatu yang baru”, karena shalat taraweh berjamaah secara terus menerus baru dilakukan pada zaman Umar bin Khottob, di mana sebelumnya hanya dilakukan oleh Rasulullah beberapa kali saja.

Adapun bid’ah dalam pengertian istilah yang maksudnya “Mengada-adakan ibadah yang tidak diajarkan dalam Islam”, tidaklah termasuk apa yang dilakukan oleh Umar bin Khottob ini. Karena sebenarnya perkara tersebut telah dilakukan oleh Rasulullah sehingga tetap memiliki landasan syar’i, dan kekhawatiran diwajibkannya shalat Taraweh atas umat Islam yang menyebabkan Rasulullah menghentikan shalat Taraweh secara berjamaah sudah tidak ada lagi, karena terputusnya wahyu setelah meninggalnya Rasulullah.

Hukum dan Keutamaannya

Shalat taraweh sangat dianjurkan (sunnah mu’akkadah). Pelaksanannya pada malam selama bulan Ramadhan, sesudah shalat ‘Isya.

Shalat Taraweh juga digolongkan sebagai shalat malam (qiyamullail), karena itu keutamaan shalat taraweh dapat dinilai dari keutamaan shalat malam yang banyak disebutkan dalam ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah.

Di antaranya firman Allah Ta’ala:

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam . Dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)” (QS. adz-Dzariat : 17-18)

Rasulullah bersabda:

» أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ «

“Shalat yang paling utama setelah shalat fardu adalah shalat malam” (Riwayat Muslim)


Maka, jika shalat malam secara umum memiliki keutamaan yang besar, apalagi jika shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan; bulan yang paling utama dari bulan-bulan yang ada.

Hal tersebut semakin dikuatkan dengan kenyataan bahwa bulan Ramadhan bukan hanya dikenal sebagai syahrushshiyam (bulan puasa), tetapi juga dikenal sebagai syahrulqiyam (bulan ibadah shalat).

Maka hadits Rasulullah yang menerangkan tentang keutamaan puasa di bulan Ramadhan sepadan dengan keutamaan shalat malam di bulan tersebut.

Rasulullah bersabda:

» مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ «

“Siapa yang puasa (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”
(Muttafaq alaih)

» مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ «


“Siapa yang beribadah (shalat) (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu” (Muttafaq alaih)

Berapa jumlah rakaat shalat Taraweh?

Sering terjadi pertentangan tentang jumlah rakaat shalat taraweh. Tidak jarang hal tersebut berakibat pada perpecahan di tengah masyarakat muslim. Sesuatu yang sangat ironis sekali, mengingat shalat taraweh hukumnya sunnah, sedangkan ukhuwwah dan persatuan di kalangan kaum muslimin tidak diragukan lagi kewajibannya. Namun sayang, demi membela yang sunnah (tanpa diringi pemahaman yang benar), yang wajib justru diabaikan.

Hal tersebut terjadi karena permasalahan ini sering dilihat dari sudut pandang golongan. Dikatakan bahwa yang shalat dua puluh rakaat adalah cara orang NU, sedang yang sebelas rakaat adalah cara orang Muhamadiyah, tanpa meneliti dalil yang ada serta petunjuk pemahaman yang benar dan menyeluruh serta perkataan para ulama tentang hal tersebut.

Padahal para salafusshaleh melihat perkara ini sebagai perkara yang muwassa’ (luas dan luwes). Bukan pada tempatnya menjadikan hal ini sebagai ajang untuk membid’ahkan atau menyatakan sese-orang bukan golongannya.

Karena shalat taraweh juga digolong-kan sebagai shalat malam (qiyamullail), maka hukum yang terkait dengannya juga mengikuti hukum yang berlaku pada shalat malam, termasuk masalah jumlah bilangan rakaatnya.

Jumlah asal dari pelaksanaan shalat malam adalah dua rakaat-dua rakaat secara mutlak, tanpa ada pembatasan jumlah maksimal dari rakaat yang boleh dikerjakan.

Sebagaimana hadits Rasulullah:

» صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى «


“Shalat malam, dua (rakaat) dua (rakaat), jika salah seorang di antara kamu khawatir (datang) waktu shubuh, maka hendaklah dia shalat (witir) satu rakaat, mengganjilkan shalat yang telah dilakukan” (Muttafaq alaih)

Hadits ini Rasulullah sampaikan ketika menjawab pertanyaan seorang badui tentang pelaksanaan shalat malam.

Maka dari jawaban Rasulullah tersebut ada dua hal yang dapat disimpulkan:

  1. Shalat malam hendaklah dilakukan dua rakaat-dua rakaat. Maksudnya adalah setiap dua rakaat melakukan salam.
  2. Shalat malam tidak ada batasan maksimalnya. Karena kalaulah hal tersebut ditentukan, mestinya Rasulullah sampaikan masalahnya, mengingat perta-nyaan orang Badui bersifat umum tentang shalat malam, baik tata caranya maupun jumlah rakaatnya3).

Adapun hadits Aisyah radhiallahuanha yang sering dijadikan landasan sebagai batas maksimal dari pelaksanaan shalat malam terdapat dalam riwayat Bukhori dan Muslim di mana Aisyah radiallahuanha berkata:

» مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ J يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعاً فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ، ثُمَّ يصُلِّي أَرْبَعاً فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً ُ«


“Rasulullah tidak menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, jangan tanya bagusnya dan panjang-nya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, jangan tanya tentang bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat” (Muttafaq alaih)

Dalam hadits ini, dengan gamblang Aisyah radhiallahuanha menjelaskan tentang jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah, baik di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan, yaitu: sebelas rakaat.

Namun yang patut diperhatikan adalah: Bahwa hadits Aisyah radhiallahuanha di atas, tidak berarti menunjukkan bahwa shalat malam (shalat taraweh) maksimal sebelas rakaat, sehingga jika lebih dari itu dianggap menyalahi sunnah Rasul. Karena dalam riwayat tersebut, Aisyah sekedar menyampaikan bahwa demikian-lah shalat malam yang Rasulullah lakukan, sehingga para ulama berkesim-pulan bahwa apa yang disampaikan Aisyah radhiallahuanha adalah merupakan kebiasaan Rasulullah dalam bilangan rakaat shalat malam4) dan tidak ada petunjuk bahwa beliau melarang pelaksa-naan shalat malam lebih dari itu.

Yang menguatkan pendapat tersebut adalah adanya riwayat lain yang shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan shalat malam tiga belas rakaat, atau sepuluh rakaat. Bahkan di antara yang meriwayatkannya termasuk Aisyah radhiallahuanha sendiri.

Dari Aisyah radhiallahuanha, dia berkata:

“Adalah Rasulullah shalat pada malam hari sepuluh rakaat, beliau melakukan salam pada setiap kali dua rakaat, kemudian melakukan shalat witir satu rakaat” (Riwayat Abu Daud dan Ahmad)

Dari Ibnu Abbas radhiallahuanhu, beliau berkata:

“Adalah shalat Rasulullah (berjumlah) tiga belas rakaat; maksudnya adalah (shalat di waktu) malam” (Riwayat Bukhori)

Kesimpulannya, yang utama shalat Taraweh dilakukan sebelas rakaat, berdasarkan hadits Aisyah radhiallahuanha, namun jika ada yang shalat dua puluh rakaat ditambah tiga witir, maka hal tersebut tidaklah mengapa5).

Bagi ma’mum, yang perlu diketahui adalah hendaklah dia melakukan shalat taraweh bersama imam hingga selesai (apakah imam melakukannya sebelas atau dua puluh rakaat), berdasarkan hadits:

» إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ «


“Seseorang, jika dia shalat bersama imam hingga selesai, maka dicatat baginya (pahala) qiyamullail” (Riwayat Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Majah)

Disamping hal tersebut lebih dekat kepada kesatuan hati dan persatuan di kalangan masyarakat muslim.

Beberapa Hukum Terkait Dengan Pelaksanaan Shalat Taraweh

1. Hendaknya shalat Taraweh dilaku-kan dengan tenang dan khusyu’. Memperhatikan thuma’ninah, syarat dan rukunnya serta tidak tergesa-gesa.

Semakin lama shalatnya, maka semakin baik nilainya. Karena sesungguhnya nilai shalat ini terletak pada lamanya dia dilakukan. Karena itu pada zaman Rasulullah mereka beristirahat di pertengahannya untuk menghilangkan letih. Namun penting juga dalam hal ini memperhatikan kondisi orang yang tua renta atau mereka yang lemah.

2. Betapapun besarnya kedudukan shalat Taraweh, tetap saja shalat Fardhu lebih utama kedudukannya. Karena itu, sebesar apapun perhatian seseorang untuk shalat Taraweh, tidak boleh mengalahkan perhatian dia dalam melaksanakan shalat Fardhu.

3. Tidak ada surat-surat khusus yang dibaca setelah membaca surat al-Fatihah. Bahkan para ulama menganjurkan agar imam membaca seluruh al-Quran sejak awal hingga akhir Ramadhan, agar ma’mum mendengarkan semua isi al-Quran. Namun tidak mengapa jika dia membaca semampunya.

4. Terkait point di atas, dibolehkan bagi imam jika dia tidak hafal al-Quran, untuk memegang mushaf saat shalat. Namun bagi ma’mum selayaknya hal tersebut tidak dilakukan6).

5. Tidak ada dalil yang menunjukkan zikir atau sholawat khusus yang dilakukan di sela-sela shalat Taraweh atau sesudah-nya yang dibaca bersama-sama.

Cukuplah masing-masing jamaah ber-zikir seorang diri, atau membaca al-Quran atau membaca shalawat, atau berdoa tanpa batasan-batasan tertentu. Atau, jika tidak membaca sesuatupun, tidak mengapa.

6. Jika seseorang datang ke mesjid, sedangkan pelaksanaan shalat Taraweh telah dimulai dan dia belum melaksanakan shalat ‘Isya. Maka dia harus melakukan shalat ‘Isya terlebih dahulu sebelum shalat Taraweh.

Adapun pelaksanaannya, dia dapat bergabung dengan jama’ah shalat Taraweh dengan niat shalat Isya, kemudian jika imam melakukan salam, dia melanjutkan sisa raka’atnya7).

7. Jika seseorang terhalang melakukan shalat Taraweh secara berjamaah, maka hal tersebut tidak menghalanginya untuk shalat taraweh seorang diri di tempatnya.

Shalat Witir

Witir (الوتر) berarti ganjil. Maka shalat ini dinamakan Witir karena jumlah rakaatnya bersifat ganjil.

Shalat Witir bukan shalat yang khusus dilaksanakan pada bulan Ramadhan saja, tetapi dia adalah shalat sunnah yang sangat dianjurkan (Sunnah Mu’akkadah) untuk dilakukan seorang muslim setiap malam.

» الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوْتِرَ بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوْتِرَ بِوَاحِدَةٍ فَلْيَفْعَلْ «


“Witir merupakan tuntutan terhadap setiap muslim, siapa yang ingin melakukan witir sebanyak tiga rakaat, maka lakukanlah, dan siapa yang ingin melaksanakan witir satu rakaat, maka lakukanlah”
(Riwayat Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Waktu Pelaksanaannya

Waktunya dilakukan setelah shalat ‘Isya hingga masuk waktu Subuh.

Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah menambahkan untuk kalian sebuah shalat, yaitu Witir, hendaklah kalian melakukannya di antara sehabis shalat Isya hingga shalat Fajar” (Riwayat Ahmad)

Shalat Witir hendaknya dijadikan sebagai penutup shalat kita di malam hari, berdasarkan sabda Rasulullah:

» إِجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْراً «

“Akhirilah shalat kalian di waktu malam dengan Witir” (Muttafaq alaih)

Namun jika seseorang tidak yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia melakukan Witir sebelum tidur, adapun jika dia yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia shalat Witir di akhir malam dan menutup shalat malamnya dengan Witir.

Namun jika dia sudah melakukan Witir sebelum tidur, kemudian dia dapat bangun lagi sebelum Subuh, dia tetap boleh melakukan shalat malam, sedangkan Witirnya cukup dengan yang sudah dilakukan sebelum tidur, tidak boleh baginya melakukan shalat Witir lagi, karena Rasululah bersabda:

» لاَ وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ «

“Tidak ada dua Witir dalam satu malam”
(Riwayat Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i dan Ibnu Hibban).

Jumlah Rakaatnya

Jumlah rakaatnya minimal satu rakaat, selebihnya dapat dilakukan tiga rakaat hingga tiga belas rakaat, yang penting bilangannya ganjil.

Jika melakukan shalat witir tiga rakaat, maka caranya ada dua;
-Pertama: Melakukannya tiga rakaat langsung lalu duduk tahiyat pada rakaat terakhir.
-Kedua: Melakukannya dua rakaat terlebih dahulu, lalu tahiyat pada rakaat kedua kemudian salam, kemudian melakukan shalat satu rakaat lagi, kemudian tahiyat lalu salam.

Adapun melakukan shalat witir tiga raka’at seperti shalat maghrib (dengan tahiyat awal dan akhir) tidak ada contohnya dari Nabi, bahkan ada larangan untuk menyamakan shalat Witir dengan shalat Maghrib8).

Sunnah-Sunnahnya

- Disunnahkan setelah membaca surat al-Fatihah- pada rakaat pertama membaca surat al-A’la, sedangkan pada rakaat kedua, membaca surat al-Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat al-Ikhlas.

- Setelah shalat witir disunnahkan membaca bacaan berikut sebanyak tiga kali:

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ ، رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ


“Maha Suci (Allah) Raja Yang Maha Suci, Tuhan malaikat dan ruh (Jibril)”

- Disunnahkan melakukan qunut pada rakaat terakhir dalam shalat Witir, baik sebelum ruku’ ataupun sesudah ruku’, namun yang lebih utama dilakukan sesudah ruku’.

Catatan:

  1. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, oleh Syeikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan, hal 167.
  2. Lihat al-Mu’jamul al-Wasith, 1/380, al-Mulakhash al-Fiqhi, 1/167
  3. Duruus Ramadhaniah, Waqafaat Li as-Sho’imin, Salman bin Fahd al-Audah
  4. Lihat Syarh Shahih Muslim, oleh Imam An-Nawawi, 6/ 262. Lihat juga Fatawa Lajnah Da’imah (Kumpulan Fatwa yang dikeluarkan oleh komisi fatwa Kerajaan Saudi Arabia), 7/195
  5. Lihat al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, 2/604, Fatawa Lajnah Da’imah, 7/198
  6. Majmu’ Fatawa, Syaikh Ibn Baz, 11/339-340
  7. Lihat Majmu’ Fatawa, Syeikh Ibn Baz, 12/181
  8. Lihat Shalat al-Mu’min, DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qohthoni, hal. 326
Sumber: www.pks-arabsaudi.org


Pamrih Suara, Bolehkah?


Oleh: Musyaffa Ahmad Rahim

Banyak teman-teman bertanya: boleh nggak kita melakukan kegiatan bakti sosial atau aksi kepeduliaan dengan maksud supaya partai kita dipilih dalam pemilu, atau sapaya “jagoan” kita dalam PILKADA ditusuk, atau boleh nggak kita melakukan berbagai kegiatan supaya diliput media, masuk tivi, ditulis di koran dan semacamnya? Bukankah hal ini termasuk riyâ’ dalam arti beramal supaya terlihat orang lain, atau sum’ah dalam arti beramal supaya cerita tentang amal ini sampai dan didengar oleh banyak kalangan?

Pertanyaan semacam ini bagi saya gampang-gampang susah menjawabnya. Jawaban pertanyaan semacam ini menjadi gampang menjawabnya manakala kita jawab dengan “ya” atau “tidak” hanya berdasarkan muatan lahiriah dari pertanyaannya. Kita jawab “ya” dalam arti memang hal inilah yang disebut riyâ’ atau sum’ah adalah sesuatu yang gampang, terlebih memang maksud sang penanya, dengan gaya bahasanya yang fait a comply ini, memang menghendaki jawaban demikian, dan bisa jadi, wallâhu a’lam, jawaban “ya” seperti ini akan menjadi sebuah dasar atau pijakan atau asas untuk melakukan “vonis” di sana sini bahwa si A yang melakukan aksi sosial, atau si B yang membuat aksi kepeduliaan dan sebagainya memang sedang mengobral riyâ’ atau sum’ah. Dan bisa jadi juga, wallâhu a’lam, jawaban ini akan menjadi cemeti ampuh untuk menghalau banyak pihak supaya tidak memberikan dukungan, atau istilahnya menjadi bahan yang dahsyat untuk melakukan penggembosan amal.

Pertanyaan seperti di atas, rasanya gampang juga untuk kita jawab “tidak”, dalam arti semua kegiatan dan aksi seperti di atas “tidak”-lah termasuk riyâ’ ataupun sum’ah. Kenapa gampang dijawab demikian? Sebab, masalah riyâ’ atau sum’ah itu kan masalah hati, sedangkan yang mengetahui isi hati hanyalah Allah SWT, sedangkan para pelaku kegiatan atau aksi tersebut, selama ini sudah dikenal keikhlasan dan ketulusannya.

Namun, walaupun jawaban “tidak” juga gampag diberikan, tetap saja jawaban ini mengandung komplikasi, betapa tidak, hukum, atau vonis, atau penilaian itu kan didasarkan pada hal-hal yang bersifat lahiriah! Sedangkan lahirian yang tampak, aksi atau kegiatan itu sangat dekat dan terkait sekali dengan pemilu atau PILKADA!

Akan tetapi, benarkah menjawab pertanyaan di atas itu gampang dan mudah seperti itu? Untuk menjawab pertanyaan terakhir ini, mestilah ditelusuri terlabih dahulu hal-hal berikut ini:

Pertama: Khair, Walaupun Tidak Ikhlash, Namun, Pahala Besar, Jika Ikhlash
Di dalam Al-Qur’an, ada satu ayat yang sangat menarik untuk direnungkan, terlebih dalam kaitan “Latar Belakang dan Masalah” di atas. Yaitu Q.S. An-Nisâ’: 114.
Point-point yang bisa digali dari ayat ini adalah:

  1. Kebanyakan najwâ (berbisik-bisik) tidaklah memiliki khair (kebaikan).
  2. Namun, ada juga najwâ yang membawa khair (kebaikan), yaitu: najwâ yang memerintahkan orang lain untuk bersedekah, atau memerintahkan orang lain untuk berbuat ma’rûf, atau najwâ yang dilakukan dalam rangka mendamaikan dua pihak yang sedang bertikai.
  3. Tiga hal ini, yaitu najwâ yang memerintahkan orang lain untuk bersedekah, atau memerintahkan orang lain untuk berbuat ma’rûf, atau najwâ yang dilakukan dalam rangka mendamaikan dua pihak yang sedang bertikai, tetaplah khair walaupun yang melakukannya tidak ikhlash .
  4. Namun, agar semua amal tadi mendapatkan pahala yang besar di akhirat, hendaklah semuanya dilakukan dengan ikhlash (ibtighâ’a mardhâtillâh).

Al-Hâfizh Ibn Rajab menjelaskan alasan mengapa tetap khair walaupun tidak ikhlash, yaitu :

  1. Sebab manfaat dari ketiga model kegiatan ini manfaatnya dapat dirasakan oleh publik, walaupun pelakunya tidak ikhlash sekalipun.
  2. Sebab, sisi khairiyah dari tiga model kegiatan ini dampaknya akan berantai dalam arti orang lain akan tergerak hatinya untuk berbuat yang sama atau bahkan lebih baik lagi, dan bisa jadi, di antara yang ter-“tular” oleh model amal ini adalah orang-orang yang ikhlash.

Keterkaitan pembahasan ini dengan “Latar Belakang dan Masalah” terletak pada keharusan untuk berhati-hati dalam menjatuhkan “hukum” atau “vonis” atau “penilaian” tentang suatu perbuatan, jangan segera kita vonis dengan: pamrih, riyâ’, sum’ah, tidak ikhlash, demi meraih suara, dukungan dan sebagainya, terlebih menjadi “vonis” sepihak ini sebagai pijakan untuk memobilisasi orang lain untuk tidak ikut serta dalam suatu aksi sosial atau kegiatan kepeduliaan sosial, atau untuk melakukan penggembosan terhadapnya, sebab, pernik-pernik dan lika-liku menilai sesuatu itu memang tidak mudah dan tidak gampang, contohnya adalah pembahasan kajian Q.S. An-Nisâ’: 114 ini.

Kedua: Jika Sedekah Ditampakkan, Betapa Indahnya itu, dan Jika Dirahasiakan, Itu Yang Terbaik
Judul ini adalah kutipan dari terjemahan Q.S. Al-Baqarah: 271

Pelajaran yang bisa digali dari ayat ini antara lain:

  1. Allah SWT menyanjung sedekah yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan dengan sanjungan: fani’immâhiya (betapa bagus dan indahnya hal itu).
  2. Dan jika sedekah dilakukan secara rahasia dan langsung diberikan kepada faqir miskin, maka hal itu lebih baik.

Jika demikian, saat kita melihat suatu aksi sosial, atau kegiatan kepeduliaan sosial, yang boleh jadi dilakukan secara terbuka, diliput media, masuk tivi dan sebagainya, kenapa kita tidak menilainya seperti penilaian Allah SWT?! Kenapa kita tidak menilainya dengan penilaian: fani’immâhi?! Akan lebih bagus lagi kalau kita tidak hanya sebatas memberikan penilaian demikian, akan tetapi, kita langsung terjun, ikut terlibat dan bergabung dalam aksi dan kegiatan tersebut, agar kita tercakup dalam penilaian Allah SWT: fani’immâhi!!!

Bahwa kalau hal itu dilakukan secara rahasia itu lebih baik, ini masalah lain, dan adakalanya terdapat murajjihat (hal-hal yang menguatkan) untuk melakukan suatu amal secara terang-terangan, dan murajjihat ini bisa jadi menjadikan kegiatan yang terang-terangan itu lebih kokoh (âkad) secara syar’i.
Ketiga: Karena Maqâshid Tertentu, Suatu Amal Sebaiknya Dilakukan Secara Terang-Terangan

Islam mengajarkan bahwa suatu amal terkadang perlu dilakukan dan dipublikasi secara terbuka. Ada maksud-maksud tertentu (maqâshid) yang dibenarkan oleh Islam.
Pelaksanaan shalat ‘Ied misalnya. Sunnah Rasulullah SAW mengajarkan agar dilakukan di lapangan terbuka, dengan memobilisir semua potensi umat, termasuk wanita yang sedang haidh diminta hadir di lapangan terbuka itu. Bahkan wanita yang tidak mempunyai jilbab, demi menghadiri acara terbuka di lapangan itu, dibenarkan untuk meminjam dari yang lainnya, dan yang mempunyai jilbab berlebih hendaklah meminjamkan kepada yang tidak punya.

Maksud dari hal ini adalah: agar mereka menyaksikan al-khair dan da’watal muslimîn. Mungkin ada yang berpendapat: ini kan dalam urusan ibadah, dan dalam ibadah tidak boleh ada qiyâs atau analogi!
Bisa jadi pendapat ini benar, akan tetapi, bagaimana dengan hadits berikut ini:

عن أبي هريرة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” من أصبح منكم اليوم صائما ؟ ” قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، قال : ” فمن تبع منكم اليوم جنازة ؟ ” قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، قال : ” فمن أطعم منكم اليوم مسكينا ؟ ” قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، قال : ” فمن عاد منكم اليوم مريضا ؟ ” قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” ما اجتمعن في امرئ ، إلا دخل الجنة ” * (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Siapa di antara kamu yang pagi ini berpuasa? Abu Bakar RA menjawab: “saya”. Rasulullah SAW bersabda: “Lalu, siapa di antara kamu yang telah mengantarkan jenazah?”. Abu Bakar RA menjawab: “Saya”. Rasulullah SAW bersabda: “Lalu, siapakah di antara kamu yang telah memberi makan orang miskin pada hari ini?”. Abu Bakar RA menjawab: “Saya”. Rasulullah SAW bersabda: “Lalu, siapakah di antara kamu yang hari ini telah menjenguk orang sakit?”. Abu Bakar RA menjawab: “Saya”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Hal-hal seperti ini tidak terhimpun pada seseorang kecuali orang itu masuk surge”. (HR. Muslim, no. 1769, 4504).

Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan hal yang mirip seperti ini, hanya saja, yang melakukannya adalah Umar bin Al-Khaththab RA .
Jangan Nggembosi lah

Al-Qur’an banyak berisi ayat-ayat yang mendorong manusia untuk beramal, baik amal yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan maupun amal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Di antaranya adalah Q.S. Al-Baqarah: 278.

Di sisi lain, Al-Qur’an sangat mencela orang-orang yang berusaha menggembosi orang lain untuk beramal, dan Al-Qur’an Al-Karim menjelaskan bahwa cara-cara nggembosi ini adalah cara orang-orang munafiq, semoga Allah SWT hindarkan kita semua dari sifat, perbuatan dan cara-cara orang munafiq.
Adalah Q.S. At-Taubah: 79 yang menjelaskan demikian.

Secara garis besar, ayat ini menjelaskan:

  1. Di antara orang-orang munafiq, ada orang-orang yang mencibir para sukarelawan dalam bersedekah.
  2. Orang yang bersedekah banyak secara terbuka, sebagaimana dilakukan oleh Abdurrahman bin Auf, mereka cibir dengan pernyataan: “aah, itu kan karena riyâ’ dan sum’ah”.
  3. Dan orang yang bersedekah sedikit, seperti yang dilakukan oleh Abû Aqîl Abdurrahman bin Tîjân, mereka cibir dengan pernyataan: “yach, sumbangan kok Cuma satu shô’ kurma, Allah SWT Maha Kaya, segitu itu apa artinya?”. Padahal, dalam rangka dapat menyumbang satu Shô’ ini Abû Aqîl “memaksakan” diri bekerja pada suatu malam (bukan siang), demi mendapatkan suatu upah, dan ternyata upahnya adalah satu shô’ kurma tadi, dan paginya, dia sumbangkan untuk perjuangan Rasulullah SAW. Kenapa Abû Aqîl “memaksakan diri”? sebab dia betul-betul ingin menyumbang, akan tetapi, dia tidak mempunyai apa pun yang bisa ia sumbangkan, maka, dia bekerja, walaupun harus di malam hari, demi “dapat menyumbang” dalam perjuangan. Seseorang yang ber-tadhhiyyah seperti ini, ternyata oleh orang munafiq dicibir.

Hal ini memberi pelajaran penting kepada kita, bahwa:

  1. Allah SWT sangat menghargai orang yang bekerja, aktif dan berjihad dalam kerjanya ini.
  2. Allah SWT sangat tidak menyukai orang-orang yang suka melakukan penggembosan terhadap orang lain untuk beramal.

Untuk itu, tidak usah lah kita meributkan tentang keikhlasan atau ketidak ikhlasan suatu amal yang dilakukan oleh orang lain, akan tetapi, adakah kita berada pada barisan orang-orang yang beramal?

Tentang keikhlasan, marilah kita introspeksi dan melihat diri kita sendiri, dan jadikan masalah keikhlasan ini antara kita dengan Allah SWT, kita tidak diminta untuk membedah hati orang lain untuk mengetahui adakah dia ikhlash dalam amalnya?

Positif Thinking Dalam Menilai

Rasulullah SAW juga mengajarkan kepada kita, agar dalam menilai suatu amal, hendaklah kita menilainya dengan mengedepankan penilaian positif dan membuat penilaian negatif, minor serta sinis. Kecuali bila suatu amal itu telah nyata-nyata negatif.

Diceritakan bahwa suatu kali Rasulullah SAW menceritakan bahwa ada seseorang berniat bersedekah pada suatu malam, dan ternyata, sedekahnya pada malam hari itu jatuh kepada seorang pencuri, setelah dia mengetahui bahwa penerima sedekahnya adalah seorang pencuri, dia berkata: Allahumma laka al-hamdu (alhamdulillah), besok malamnya dia bersedekah lagi, ternyata penerimanya adalah wanita pelacur, begitu dia mengetahui bahwa penerimanya adalah seorang peacur, dia berkata: Allahumma laka al-hamdu, besok malamnya dia bersedekah lagi, dan ternyata penerimanya adalah orang kaya.

Semua sedekah yang “salah sasaran” ini ternyata semuanya diberi tafsir positif oleh Rasulullah SAW. Tentang pencuri yang menerima sedekah, ditafsirkan: semoga dengan sedekah itu dia tidak lagi mencuri, tentang wanita pelacur, diberi tafsir: semoga dengan sedekah itu dia tidak lagi melacur, dan tentang orang kaya: semoga dia mengambil ibrah .

Hadits ini memberi pelajaran kepada kita, hendaklah kita belajar untuk menjadi manusia-manusia yang lebih cerdas, pintar dan cekatan dalam memberi tafsir positif, agar manusia terpacu untuk beramal, dan janganlah kita menjadi bagian dari orang-orang yang memandang perbuatan dan ucapan orang lain dengan menggunakan kaca mata hitam, apalagi menggunakan kaca mata kuda, sebab, membangun motivasi orang untuk beramal itu jauh lebih sulit.

Penutup

Beberapa uraian di atas menggambarkan bahwa:

  1. Menilai sesuatu itu memang gampang-gampang susah, oleh karena itu, serahkanlah masalah penilaian ini kepada Allah SWT, Dzat yang maha mengetahui segala rahasia. Pamrih atau tidak pamrih, itu bukan domain kita.
  2. Belajar untuk possitive thinking itu sangat perlu, agar barisan orang-orang yang beramal semakin banyak.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufiq, hidayah dan bimbingan kepada kita untuk menjadi manusia-manusia yang mendengar berbagai pendapat, pandangan dan ucapan, lalu kita dibimbing oleh-Nya untuk mengikuti yang terbaik, amiiin.

Melompat Lebih Tinggi


Ini sebuah kisah nyata yang diceritakan oleh seorang bijak. Suatu malam,seorang laki-laki datang ke rumahnya dan berkata, "Ada sebuah keluarga dengan delapan anak yang sudah berhari-hari tidak makan." Mendengar hal itu bergegaslah orang bijak itu pergi membawa makanan untuk mereka.

Ketika tiba di sana ia melihat wajah anak-anak itu begitu menderita karena kelaparan. Tak ada kesedihan ataupun kepedihan di wajah mereka, hanya derita yang dalam karena menahan lapar.

Orang bijak itu memberikan nasi yang dibawanya pada sang ibu. Ibu itu lantas membagi nasi itu menjadi dua bagian, lalu ke luar membawa setengahnya. Ketika ia kembali, orang bijak itu bertanya, "Kau pergi kemana?" Ibu itu menjawab, "Ke tetangga-tetanggaku. Mereka juga lapar."

Orang bijak itu tercengang. Ia tidak heran kalau si ibu membagi nasi itu dengan tetangga-tetangganya, sebab ia tahu orang miskin biasanya pemurah. Yang ia herankan adalah karena si ibu tahu bahwa mereka lapar. Biasanya kalau kita sedang menderita, kita begitu terfokus pada diri sendiri, sehingga tak punya waktu untuk memikirkan orang lain.

Si ibu dalam cerita di atas adalah contoh orang yang telah dapat melampaui dirinya sendiri. Ia dapat melepaskan keterikatannya pada kebutuhan fisik dan secara bersamaan memenuhi kebutuhan spiritualnya yaitu untuk berbagi dengan orang lain. Kualitas semacam ini tentu tak dapat diraih dalam waktu singkat. Ini memerlukan proses pergulatan batin yang cukup panjang.

Kehidupan manusia memang senantiasa menjadi tempat pergulatan dua kepentingan utama: fisik dan spiritual. Kepentingan fisik adalah hal-hal yang kita butuhkan untuk bisa hidup di masa sekarang, seperti sandang, pangan dan papan. Ini kebutuhan jangka pendek kita. Sementara, kepentingan spiritual adalah hal-hal yang kita butuhkan untuk hidup di masa sekarang dan masa yang akan datang. Ini adalah kebutuhan jangka pendek sekaligus jangka panjang.

Pemenuhan kedua macam kebutuhan ini akan menghasilkan kualitas hidup yang tinggi. Sayang, banyak orang yang tak menyadari hal ini. Mereka menghabiskan hidup mereka hanya untuk mengumpulkan harta benda. Untuk itu mereka juga tak segan-segan menggunakan cara yang buruk: menciptakan kebijakan yang menguntungkan diri sendiri, menguras uang rakyat, mencuri uang perusahaan, maupun menciptakan konspirasi yang merugikan orang banyak.

Kalau kita renungkan secara mendalam, semua kejahatan yang ada di dunia ini berasal dari satu kata: keserakahan. Dan, akar keserakahan adalah pada cara kita memandang hidup ini. Selama kita melihat diri kita semata-mata makhluk fisik belaka, selama itu pula kita tak dapat membendung keinginan kita untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Betapa banyaknya dalam kehidupan sehari-hari kita melihat orang yang berpenghasilan biasa-biasa saja, tetapi memiliki harta yang luar biasa banyaknya.

Ada banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk merasionalkan hal itu. Pertama, semua orang yang mendapat kesempatan pasti akan melakukannya. Kedua, penghasilan yang saya dapatkan terlalu kecil dan tidak seimbang dengan pengorbanan yang saya berikan. Ketiga, toh kekayaan yang saya dapatkan tidak saya nikmati sendiri tetapi saya gunakan untuk membantu anak yatim, membiayai orang tua dan saudara yang sedang sakit, membangun sekolah, dan sebagainya. Dengan berbagai alasan tersebut kita mendapatkan ''ketenangan sementara'' karena seolah-olah perbuatan yang kita lakukan telah berubah menjadi legal, rasional atau paling tidak dapat dimaklumi.

Namun, ketenangan semacam ini tidaklah langgeng. Pasti ada sesuatu dalam diri kita yang kembali mengusik kita, membuat kita resah dan gelisah. Perhatikanlah orang-orang yang hidup dengan cara ini. Mereka sangat rentan terhadap perubahan yang sekecil apapun. Mereka sangat jauh dari ketentraman yang sejati. Betapapun banyaknya harta yang mereka kumpulkan tak akan pernah melahirkan perasaan cukup dan puas. Sebuah pepatah mengatakan, "The world is enough for everybody, but not enough for one greedy." Apa yang disediakan oleh dunia ini sebetulnya cukup untuk semua orang, tetapi tidak akan cukup untuk seorang yang rakus.

Sebuah perubahan dramatis akan terjadi begitu kita sadar bahwa kita bukanlah makhluk fisik tetapi makhluk spiritual. Kita menjadi makhluk spiritual untuk selama-lamanya. Sebelum muncul ke dunia, kita adalah makhluk spiritual, ketika hidup sekarang kita juga makhluk spiritual, dan ketika kita meninggal kita tetap menjadi makhluk spiritual. Kita hanya menjadi makhluk fisik di dunia ini saja.

Salah satu cara paling efektif untuk menyadari hal itu adalah dengan berpuasa. Dengan puasa kita akan sadar bahwa kebutuhan (ini berbeda dengan keinginan) kita sebetulnya sangatlah sedikit. Berpuasa juga akan menyadarkan kita bahwa dengan mengurangi kenikmatan fisik kita akan mendapatkan kenikmatan spiritual yang luar biasa. Dengan berpuasa kita keluar melampaui 'diri rendah' kita menuju Diri kita yang lebih tinggi.

Dengan puasa kita lepaskan keterikatan kita pada gravitasi bumi. Kita bergerak melesat mengikuti gravitasi langit. Semoga puasa kali ini dapat
membuat kita lebih baik.
[Republika]

Seorang Sultan Tanpa Tahta dan Istana

Oleh: Aidil Heryana, S.Sos

“Ya Allah, pindahkanlah diriku dari kehinaan maksiat kepadaMu menuju keagungan taat kepadaMu!” Sepenggal doa dari para pengembara pencari kemuliaan hakiki.

Di atas jalan yang tak berujung, di bawah langit yang tak bertepi. Lelaki gagah berani itu memulai pengembaraannya, memasuki labirin kehidupan demi setitik asa, mengharap ampunanNya, mengharap keridhoaanNya. Buliran air mata bagai permata putih, satu persatu berjatuhan, dengan segenap rasa di jiwa, dengan setumpuk dosa yang melekat di dada, mengalir membasahi setiap langkah-langkahnya yang tak pernah lelah. Rangkaian doa-doa itu dibacanya dengan penuh kedalaman jiwa.

Ia seorang pangeran yang meninggalkan kerajaannya dan berkelana untuk menjalani kehidupan barunya dalam kesahajaan. Ia memperoleh makanannya di Suriah dari hasil kerja keras yang jujur hingga wafatnya pada tahun 165 H/782 M. Sejumlah catatan menyatakan bahwa ia syahid dalam sebuah ekspedisi laut menaklukkan Byzantium.

Awalnya, dia adalah seorang Raja Besar, ‘Jihan Padishah’. Padishah, salah satu Sultan terkaya dan seluruh dunia berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, dia pun bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana ia selalu dikawal 80 orang pengawal yang selalu mengiringi di depan dan di belakangnya. Untuk menjaga kawanan dombanya saja, dia menempatkan 12.000 ekor anjing dan setiap ekor anjing disematkan satu kalung emas! Jadi bisa dibayangkan berapa banyak kawanan domba yang dia miliki? Dan dia juga memiliki ketertarikan lain sebagai hobbinya yaitu berburu.

Malam kian larut di kota Arkian persis pada pergantian bulan. Di langit tidak tampak sepotong bulan. Hanya ada kerlipan bintang yang menyebar. Dingin tak jua menepi, sementara rasa kantuk menguasai seluruh penduduk kota tidak terkecuali penghuni istana. Namun tiba-tiba suara gaduh memecah kesunyian menyusul suara orang berlari terbirit-birit di atas kubah istana.

Istana megah yang dihuni seorang Sultan di negeri Balkh itu, heboh! Ibrahim bin Adham mendengar di atas loteng kamarnya ada seseorang yang reseh mencari sesuatu. Aksi orang itu terbilang nekat karena istana dalam pengawalan yang ketat. Tidak kurang dari 80 orang pengawal, 40 orang berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.

Ibrahim pun menegur orang yang berani mengganggu keasyikan tidurnya itu. Sebagai seorang raja muda, ia sangat terganggu oleh suara berisik itu, maka secara spontan ia berteriak, ”Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Ibrahim bin Adham. Sang pengganggu menjawab enteng, ”Sedang mencari ontaku yang hilang!” Mendengar jawaban itu, nyaris Ibrahim bin Adham naik pitam. ”Bodoh, di mana akalmu?” katanya membentak. ”Mana mungkin kau menemukan onta di atas loteng.”

Tanpa diduga sang pengganggu menjawab lebih seenaknya: ”Begitu juga kau, mana mungkin engkau menemukan Tuhan di istana dengan berpakaian sutera dan tidur di alas tilam emas!”

Mendengar jawaban singkat yang amat tenang itu, Ibrahim bin Adham kemudian terdiam. Kata-kata asing dari langit-langit istananya itu sungguh menyentuh nuraninya; suaranya mantap, kalimatnya jelas dan logikanya sangat kuat, sehingga keseluruhan kata-kata itu menjadi sangat berwibawa dan menggelitik jiwanya. Kata-kata ini sangat menggetarkan hati Ibrahim. Kejadian itu membuatnya sangat gelisah dan tidak dapat meneruskan tidurnya hingga fajar datang.

Seperti kebiasaannya, menjelang siang Ibrahim berada di atas singgasananya untuk mendengar pengaduan dan masalah rakyat jelata. Tetapi hari itu keadaannya berlainan, dirinya gelisah dan banyak termenung. Para menteri kerajaan berdiri di tempat mereka masing-masing; budak-budaknya berdiri berjajar berhimpitan. Semua warga istana hadir.

Tiba-tiba, seorang lelaki dengan raut wajah yang sangat buruk memasuki ruangan, sangat buruk untuk dilihat sehingga tak ada seorang pun dari para pejabat dan pelayan kerajaan yang berani menanyakan namanya; lidah-lidah mereka tertahan di tenggorokan. Lelaki ini mendekat dengan khidmat ke singgasana.

“Apa maumu” tanya Ibrahim.

“Aku baru saja tiba di penginapan ini,” ujar lelaki itu.

“Ini bukan penginapan. Ini istanaku. Kau gila,” teriak Ibrahim.

“Siapa yang memiliki istana ini sebelummu?” tanya lelaki itu.

“Ayahku,” jawab Ibrahim.

“Dan sebelumnya?”

“Kakekku?”

“Dan sebelumnya?”

“Buyutku.”

“Dan sebelumnya?”

“Ayah dari buyutku.”

“Ke mana mereka semua pergi?” tanya lelaki itu.

“Mereka telah tiada. Mereka telah meninggal dunia,” jawab Ibrahim.

“Lalu, apa lagi namanya tempat ini kalau bukan penginapan, di mana seseorang masuk dan yang lainnya pergi?”

Setelah berkata begitu, lelaki asing itu pun menghilang. Ia adalah Nabi Khidhr as. Api berkobar semakin dahsyat di dalam jiwa Ibrahim, dan seketika kesedihan menatap dalam hatinya.

Kedua kejadian itu, di malam dan siang hari, sama-sama misterius dan tidak dapat dijelaskan oleh akal. Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya untuk berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikit berkurang. Akhirnya Ibrahim berkata, “Pasang pelana kudaku. Aku akan pergi berburu. Aku tidak tahu apa yang telah kualami hari ini. Ya Tuhan, bagaimana ini akan berakhir?”

Ibrahim bin Adham (إبراهيم بن ادھم) dan rombongan terus melintasi padang pasir yang luas sejauh mata memandang. Dia memacu kudanya dengan cepat sehingga sepertinya ia tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Dalam keadaan bingung, ia terpisah dari para Pengawalnya. Dalam mencari jalan keluar dia melihat seekor rusa. Ibrahim segera memburu rusa itu. Belum sempat berbuat apa-apa rusa itu berbicara kepadanya:

“Ibrahim, kamu tidak diciptakan untuk bersenang-senang Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami (untuk diadili)?(Al Qur’an Surat Al-Mu’minun 23:115). Takutlah pada Allah dan persiapkan dirimu untuk menghadapi kematian.”

Ibrahim yang masih dalam ketakutan itu tiba-tiba terkejut dengan kata-kata itu. Dia langsung sadar dan berfikir selama ini untuk apa dirinya diciptakan Allah ke dunia. Sekarang keyakinan serta keimanannya telah tertanam di dalam dadanya. Seluruh pakaian dan tubuh kudanya basah oleh cucuran air mata penyesalannya selama ini. Dengan sepenuh hati Ibrahim bertaubat kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Dalam keadaan panas terik itu, Ibrahim melepaskan kudanya dan memutuskan untuk berjalan kaki. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang penggembala yang sedang menjaga sekumpulan kambing-kambingnya. Gembala itu mengenakan pakaian dan penutup kepala yang terbuat dari bulu hewan. Ibrahim melihat lebih dekat, dan menyadari bahwa gembala itu adalah budaknya.

Tanpa pikir panjang Ibrahim menanggalkan apa yang selama ini dikenakannya dan memberikan kepada gembala itu, berupa jubah yang bersulam emas dan mahkota yang bertahtakan permata, sekaligus dengan domba-dombanya. Sedangkan Ibrahim berganti mengenakan pakaian kasar dan penutup kepala budak itu. Dan tanpa riskan Ibrahim sendiri mengenakan pakaian yang sehari-harinya dikenakan si penggembala kambing itu.

Ibrahim bin Adham meninggalkan kerajaan beserta istananya yang mewah karena rasa bersalah dan malu menyadari masih ada rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun pencerahan itu membuat ia menikmati manisnya iman walau pakaiannya kini adalah kulit domba alih-alih sutra China, tidurnya kini berbantalkan akar pohon yang tak lagi bulu angsa berlapis beludru. Begitulah Ibrahim menukar kerajaan beserta isinya untuk sebuah kenikmatan iman.

Dengan berjalan kaki Ibrahim mengembara melintasi gunung dan menyusuri padang pasir yang luas sambil mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Akhirnya sampailah dia di sebuah gua. Ibrahim yang dulunya seorang raja yang hebat akhirnya menyendiri dan berkhalwat di dalam gua selama sembilan tahun.

Selama di dalam gua itulah Ibrahim betul-betul mengabdikan dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Setiap hari Kamis dia pergi ke kota Nishafur untuk menjual kayubakar. Setelah shalat Jumat Ibrahim pergi membeli roti dengan uang yang diperolehnya tadi. Roti itu separuh diberikan kepada pengemis dan separuh lagi untuk berbuka puasa. Demikianlah yang dilakukannya setiap minggu.

Akhirnya Ibrahim memutusan untuk keluar dari gua tersebut dan mengembara lagi melintasi padang pasir yang luas itu. Dia tidak tahu lagi ke mana hendak dituju. Setiap kali berhenti di sebuah perkampungan, dikumpulkanlah orang-orang setempat untuk memberitahu betapa kebesaran Allah terhadap hambaNya dan azab yang akan diterima oleh siapapun yang mengingkarinya. Justeru itu banyaklah orang yang akrab dengannya bahkan ada yang menjadi muridnya.

Pengembaraan melintas padang pasir itu dilakukannya empat belas tahun lamanya. Selama itu pula dia berdoa dan merendahkan dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Nama Ibrahim mulai disebut-sebut orang; dari seorang raja berubah menjadi seorang ahli sufi yang rendah hati.

Pernah dalam perjalanannya dia diuji. Disebabkan kewara’annya itu ada seorang kaya raya datang menemuinya untuk mengambil tabarruk atas dirinya dengan memberi sejumlah uang yang sangat banyak. “Terimalah uang ini, semoga berkah”, katanya kepada Ibrahim.

“Aku tidak mau menerima sesuatupun dari pengemis”, jawab Ibrahim.

“Tetapi aku adalah seorang yang kaya raya”, sergah orang kaya itu.

“Apakah engkau masih menginginkan kekayaan yang lebih besar dari apa yang telah engkau miliki sekarang ini?” tanya Ibrahim.

“Ya, kenapa tidak?” Jawabnya ringkas.

“Simpanlah uang ini kembali, bagiku engkau tidak lebih dari ketua para pengemis. Bahkan engkau bukan seorang pengemis lagi tetapi seorang yang sangat fakir dan peminta-minta.” Tegur Ibrahim.

Kata-kata Ibrahim itu membuat orang kaya itu tersentak seketika. Penolakan pemberiannya oleh Ibrahim disertai dengan kata-kata yang sinis lagi pedas itu turut meninggalkan kesan yang mendalam kepada dirinya. Dengan peristiwa tersebut orang kaya itu bersyukur kepada Allah karena pertemuan dengan Ibrahim itu membuat dirinya sadar akan tipu daya dunia ini. Merasa lalai dengan nafsu yang tidak pernah cukup dari apa yang perolehnya selama ini.

Suatu ketika Ibrahim bin Adham sedang menjahit jubah buruknya di tepi sungai Tigris kemudian dia ditanya oleh sahabatnya, “Engkau telah meninggalkan kemewahan istana dari kerajaanmu yang besar. Tetapi apakah yang engkau dapatkan dari semua yang engkau jalani selama ini?”

Disebabkan pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu keluar dari mulut sahabatnya sendiri maka dengan tiba-tiba jarum di tangannya terjatuh ke dalam sungai itu. Sambil menunjuk jarinya ke sungai, Ibrahim berkata, “Kembalikanlah jarumku!”

Tiba-tiba seribu ekor ikan mendongakkan kepalanya ke permukaan air. Masing-masing ikan itu membawa sebatang jarum emas di mulutnya. Ibrahim berkata: “Aku inginkan jarumku sendiri.”

Seekor ikan kecil yang lemah datang mengantarkan jarum besi kepunyaan Ibrahim di mulutnya.

“Jarum ini adalah salah satu di antara imbalan-imbalan yang aku peroleh, karena meninggalkan kerajaan Balkh. Sedangkan yang lainnya belum tentu untuk kita, semoga engkau mengerti.” Kata Ibrahim Adham dengan penuh kiasan.

Ibrahim bin Adham terkenal juga memiliki semangat ukhuwah yang tinggi. Hal ini dinyatakan oleh Sahl bin Ibrahim sebagai pernah mengatakan, “Aku berteman dengan Ibrahim bin Adham, lantas aku sakit. Ia memberikan nafkahnya untuk diriku. Suatu saat aku ingin sekali akan sesuatu, lantas Ibrahim menjual kudanya, dan uangnya diberikan kepadaku. Ketika aku ingin minta penjelasan, ‘Hai Ibrahim, mana kudanya?’ Ia menjawab, ‘Sudah kujual!’ Kukatakan, “Lantas aku naik apa?’ Dijawabnya, ‘Saudaraku, engkau naik di atas leherku.’ Dan benar, sepanjang tiga pos ia menggendongku.”

Pada kesempatan lain Ibrahim bin Adham ditemui oleh khalifah pada masa itu. Khalifah tertarik untuk bertemu dengan Ibrahim bin Adham, karena ketakwaannya. Untuk menguji kebenaran berita itu, Sang Amir (khalifah) menemui Ibrahim bin Adham di masjid.

“Ya Ibrahim, kau kenal aku kan? Aku seorang Amir, apa yang ingin kau minta dariku?” Khalifah membujuk

“Bagaimana aku berani meminta kepadamu, aku malu meminta kepadamu, karena aku sedang berada di rumahNya.” Ibrahim mencoba mengelak.

Sesaat ketika khalifah dan Ibrahim berada di luar masjid, khalifah mengulangi lagi permintaannya,”Nah Ibrahim, sekarang kita telah berada di luar rumah Allah, apa yang ingin kau minta dariku?”

“Aku boleh meminta kepadamu tentang dunia atau akhirat?” pinta Ibrahim

“Tentunya dunia wahai Ibrahim, karena aku tak memiliki akhirat.” Khalifah terperangah atas permintaan Ibrahim.

Ibrahim berpikir sejenak, lalu merespon permintaan khalifah, yang akan mencerminkan ketakwaannya.

Maaf tuan, kepada yang “Maha Memiliki” dunia saja aku takut untuk meminta dunia, bagaimana aku minta dunia, kepada yang “tak memiliki” dunia??”

Begitulah kehidupan Abu Ishaq–nama panggilannyaKakeknya dahulu adalah penguasa Khurasan, dan ayahnya pernah menjadi salah satu dari raja Khurasan. Otomatis, Ibrahim mewarisi kerajaan itu. Dia pun seorang Tabi’in yang terkenal. Dia pernah bertemu dengan beberapa dari sahabat Rasulullah SAW dan meriwayatkan hadits-hadits setelah mereka. Dia sangat lancar berbahasa Arab fushkhah. Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Mansur bin Yazid bin Jabir Al-Ajly At-Tamimi. Ia mewarisi kekayaan dan hidup di dalam kemewahan, tetapi akhirnya berkelana selama dua puluh tahun, kemudian dikenal sebagai ulama besar yang bermukim di Makkah, menjadi murid Sufyan ats-Tsaury dan al Fudhail bin ‘Iyadh.

Imam Junayd al Baghdadi ra berkata tentangnya, “Ibrahim adalah kunci ilmu pengetahuan” dan dia sangat dihormati, oleh semua orang yang memiliki ilmu pengetahuan, untuk kehidupannya yang patut dicontoh dan ketajaman kebijakannya kepada seluruh manusia”.

Ibrahim bin Adham meninggal di salah satu pulau yang terletak di laut Mediterania dalam sebuah ekspedisi jihad menaklukkan Byzantium. Diriwayatkan pada malam sebelum wafatnya, beliau pergi ke kamar kecil sebanyak dua puluh kali. Dia juga selalu memperbaharui wudhunya setiap selesai berhajat karena ketika itu ia sedang menderita sakit perut. Kemudian, ketika sedang sakaratul maut, Ibrahim berkata, “Berikan aku panah!,” Para sahabatnya lantas memberi Ibrahim panah, kemudian ia memegang panah tersebut namun saat bersamaan datanglah malaikat Izrail menjemput sedang dia ingin melemparkan panah itu ke pihak musuh.

Dengan begitu, beliau meninggal sebagai syuhada karena sakit perut saat sedang berjihad bersama para tentara lainnya di jalan Allah. Allah swt merahmati hamba shaleh ini yang telah menyiapkan kematiannya dengan sebaik-baiknya maka ketika kematian menjemputnya ia pun menyambutnya dengan hati gembira karena ingin bertemu dengan Tuhannya. Semoga Allah merahmati dan memuliakan kedudukannya. Wallahu a’lam